Rabu 13 Feb 2019 15:58 WIB

Mengenal Tradisi dan Keunikan Pesantren (8 -Habis)

Hari Santri dicanangkan untuk mengenang patriotisme 'kaum sarungan'

Santri memainkan atraksi tongkat api atau 'abid-abidan' pada perayaan hari santri nasional, di Pondok Pesantren Ath-Tohirriyah Karang Salam, Kedung Banteng, Banyumas, Jateng, Kamis (20/10).
Foto: Antara/Idhad Zakaria
Santri memainkan atraksi tongkat api atau 'abid-abidan' pada perayaan hari santri nasional, di Pondok Pesantren Ath-Tohirriyah Karang Salam, Kedung Banteng, Banyumas, Jateng, Kamis (20/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kedatangan Jepang membubarkan semua impian Politik Etis ala Belanda di Nusantara. Walaupun berkuasa hanya beberapa tahun, Jepang menguras segenap kekuatan rakyat Pribumi dan sumber daya alam demi kemenangannya dalam Perang Asia Timur Raya.

Kalangan pesantren tidak lepas dari pengaruh kedatangan Jepang. Pada masa ini, Dai Nippon menarik kaum ulama ke ranah politik demi menggalang dukungan massa, khususnya Muslimin.

Pendidikan pesantren lebih diperhatikan ketimbang sekolah-sekolah warisan Belanda. Macam-macam organisasi Islam diizinkan berdiri. Sebut saja, Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) atau Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Belakangan, dibentuklah laskar kiai-santri Hizbullah pada 1944.

Savran Billahi dan Idris Thaha (2018) berpendapat, apa pun politisasi yang melanda kaum santri dan ulama, hasilnya justru tidak seturut dengan yang dimaui Jepang. Kalangan pesantren berhasil menjaga konsistensi tujuan sendiri.

Umpamanya, kasus yang terjadi pada Hizbullah. Apa pun motif Jepang yang melatarinya, orang-orang Pribumi Islam yang mengikuti laskar itu memanfaatkannya untuk meningkatkan disiplin dan menambah pengetahuan kemiliteran.

Banyak yang dahulunya takut memegang pistol, kini mulai mahir menggunakan senjata api. Kemampuan ini terbukti berguna kelak untuk mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia yang merdeka sejak 17 Agustus 1945.

photo
Warga menyaksikan barisan peserta yang membentangkan bendera Merah Putih saat Parade Surabaya Juang di Surabaya, Jawa Timur, Ahad (11/11/2018).

 

Sesudah Indonesia Merdeka

Pada masa revolusi, peran besar kaum santri tidak dapat dipungkiri. Mereka bahu-membahu dengan tentara nasional untuk melindungi eksistensi negara yang baru seumur jagung ini. Begitu banyak kiai dan laskar Hizbullah yang bertempur melawan Sekutu, utamanya Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia.

Salah satu legasi penting adalah Resolusi Jihad yang dicetuskan Nahdlatul Ulama pada 22 Oktober 1945. Pernyataan itu sekaligus memperkuat fatwa yang sebelumnya diumumkan Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’arie.

Pada awal November 1945, Kongres Umat Islam di Yogyakarta mengukuhkan Resolusi Jihad sebagai tanda kebulatan tekad sekaligus menanggapi situasi yang kian genting setelah ultimatum Sekutu.

Puncaknya, pada 10 November di Surabaya, Sekutu menerjunkan lebih dari 20 ribu pasukan untuk menggempur basis-basis pertahanan Indonesia. Rakyat dan kaum santri dengan dipimpin para kiai membalas setiap serangan musuh.

Pekikan “Allahu Akbar!” memompa semangat mereka. Belasan ribu pejuang Indonesia gugur. Peristiwa ini menggerakkan pelbagai perlawanan serupa di seluruh Indonesia. Pertempuran Surabaya kelak dikenang sebagai Hari Pahlawan Nasional.

Pada 1949, RI akhirnya mendapatkan pengakuan kedaulatan dari Belanda. Resmi sudah Indonesia berposisi sejajar dengan bangsa-bangsa lain dalam pergaulan dunia. Dalam pada itu, unsur-unsur pesantren tidak kenal henti mewarnai Indonesia dengan sumbangsih-sumbangsih yang positif.

Kalau pada masa silam jihad dilakukan dalam wujud perjuangan fisik, kini meluas pada segala macam aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Untuk mengapresiasinya, Presiden Joko Widodo sejak 2015 lalu telah menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri. Tanggal itu bertepatan dengan dimaklumkannya Resolusi Jihad, buah rumusan para kiai untuk mengobarkan tekad perjuangan mempertahankan Indonesia.

Tentunya, penetapan Hari Santri itu dimaksudkan antara lain supaya para santri, utamanya dari kelompok pemuda, dapat menjadi garda depan dalam menjaga negeri tercinta.

Baca juga: Mengenal Tradisi dan Keunikan Pesantren (7)

 

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement