Sabtu 02 Feb 2019 07:17 WIB

Sentuhan Peradaban Islam di Balik Populernya Tulip di Eropa

Bunga tulip menginspirasi peradaban dan simbol keindahan di Eropa.

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
Tulip Festival tawarkan sepetak hamparan karpet
Foto: abc
Tulip Festival tawarkan sepetak hamparan karpet

REPUBLIKA.CO.ID, Selama periode klasik Yunani, Romawi dan Islam, sangat banyak bunga yang dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi atau medis.

Bunga-bunga yang indah dijadikan sebagai dekorasi sampai abad ke-16, sedangkan bunga yang mewangi dianggap dapat memberikan manfaat kesehatan, sehingga digolongkan sebagai obat-obatan herbal.

Sebuah risalah yang ditulis sekitar 160 SM, Cato’s On Agriculture, menjelaskan tentang pertanian dari para ahli botani di Andalusia dan di beberapa tempat lain di dunia muslim pada Abad Pertengahan. Risalah tersebut cenderung berkonsentrasi pada kategori-kategori bunga tersebut. 

Para Ahli hortikultura di Timur Jauh ini memang telah lama mempraktikkan pemuliaan tanaman untuk meningkatkan macam-macam tanaman hias. Tindakan mereka tersebut tampaknya telah meresap ke Barat, ke dunia Muslim dan Eropa sekitar 1500 M. 

 

Zahiruddin Muḥammad bin Omar Sheikh atau lebih dikenali sebagai Babur, sangat terkesima dengan keindahan bunga Tulip. Babur adalah pendiri Kekaisaran Mughal di India pada awal abad ke-16. Dia seorang pecinta alam dan pencipta taman. Dia pernah menulis pada 1504 M:

"Warna bunga Tulip banyak menutupi kaki ini. Saya pernah menghitungnya, ada sekitar 32 atau 33 macam. Kami menamakannya mawar yang mewangi, karena aromanya seperti mawar merah," tulis Babur seperti dikutip dari laman aramcoworld, Kamis (31/1).  

Kemudian, Babur mencoba memperkenalkan banyak tanaman ke India yang berasal dari tanah airnya di Uzbekistan serta dari Kashmir.

Beberapa di antaranya muncul dalam miniatur Kekaisaran Mughal dan juga menjadi motif dekoratif pada produk sulaman, tekstil, karpet dan furnitur, serta produk ukiran dan tatahan. 

Bunga tulip dan varietasnya kemudian banyak menyebar ke arah Barat melalui Iran dan Kekaisaran Ottoman, yang  mana pada masa itu kekaisaran tersebut sangat tertarik dengan bunga dan perkebunan, tepatnya pada abad ke-16. Bunga Tulip, eceng gondok, mawar dan anyelir menjadi favorit pada masa itu.

Bunga Tulip dilukiskan secara berulang-ulang pada ubin yang tak terhitung jumlahnya, pada keramik terkenal dari Iznik, di lukisan dekoratif di istana, di sampul pernis manuskrip dan di tekstil, mulai dari beludru sutra hingga syal bersulam. Bahkan, pada abad ke-18 juga ada bunga tulip di sepanjang menara masjid yang dibangun di Durres, Albania.

Informasi tentang berbagai bunga banyak berasal dari risalah yang diilustrasikan dengan indah. Risalah-risalah lainnya juga banyak memberikan informasi terperinci tentang asal mula bunga, budi daya bunga, dan sering mencatat tentang pemuliaan tanaman utama.

Ada juga buku-buku tentang bunga anyelir dan bunga-bunga lainnya, tetapi sejauh ini bunga mawar dan tulip menjadi yang paling populer. 

Menurut risalah yang ditulis abad ke-18, kepala hakim di bawah kekuasaan Sultan Turki Utsmani Suleiman Agung, Ebussuud Efendi memiliki tanggung jawab untuk mempopulerkan bunga tulip. Misalnya, ketika ia diberi tulip putih, kemudian dia sebarkan di kebunnya. 

Pada 1630 M, muncul fenomena "tulipomania" yang luar biasa di Belanda dan terjadi industri ekspor besar-besaran. Tulipomania merupakan periode pada Zaman Keemasan Belanda selama kontrak harga untuk umbi dari bunga tulip yang baru diperkenalkan mencapai tingkat harga yang sangat tinggi dan tiba-tiba runtuh.

 

 

 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement