REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama (Kemenag) akan membuat program 5.000 kiai pada 2019.
Program tersebut dibuat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan bangsa akan kehadiran ulama yang berpengetahuan agama mendalam.
Dirjen Pendis Kemenag, Prof Kamaruddin Amin, mengatakan, program 5.000 kiai akan memiliki program yang variatif.
Peserta program tersebut bisa disekolahkan di perguruan tinggi dengan sistem beasiswa.
Juga bisa mendapat program pelatihan, studi banding, dan benchmarking. Jadi jenis program dalam program 5.000 kiai cukup banyak.
Ia menjelaskan, santri, sarjana, dan kiai bisa mengikuti program 5.000 kiai. Sebab sarjana membutuhkan ilmu-ilmu yang dimiliki kiai, begitu pula sebaliknya, kiai butuh ilmu-ilmu yang dimiliki sarjana.
"Untuk kiai, kita berikan kesempatan untuk melakukan studi dan penelitian di negara-negara Barat atau Timur Tengah untuk benchmarking," kata Kamaruddin kepada Republika.co.id, Kamis (3/1).
Ia menerangkan, untuk peserta dari kalangan sarjana dan santri, programnya bisa berupa pelatihan atau disekolahkan di perguruan tinggi.
Dirjen Pendis nanti akan merumuskan tempat pelatihan, bentuk pelatihan dan jenis-jenis program 5.000 kiai.
Ia menyampaikan, salah satu tujuan program 5.000 kiai, supaya masyarakat memiliki ulama dan kiai yang berpengetahuan agama mendalam. Sehingga substansi ajaran agama bisa disebarkan secara memadai sesuai substansi dan hakikat agama itu sendiri.
"Bangsa ini butuh ulama, masyarakat butuh orang-orang dengan pengetahuan agama yang mendalam, kita berharap ini bisa berkontribusi untuk mengawal kehidupan keagamaan yang toleran, damai, humanis, rahmatan lil 'alamin," ujarnya.
Melalui program 5.000 kiai, Prof Kamaruddin berharap semakin banyak yang mendalami ilmu agama. Sebab agama harus dipelajari secara mendalam. Agama tidak boleh dipelajari secara instan dan dipahami permukaannya saja.
Ia menegaskan, agama harus dipelajari secara mendalam supaya substansi agama dapat dipahami. Sehingga refleksi keagamaan masyarakat sesuai dengan substansi ajaran agama.
Sementara, pemahaman keagamaan yang didapatkan secara instan bisa membuat refleksi keberagamaan tidak sesuai dengan substansi ajaran agama itu sendiri.
Ia menduga muncul pemahaman radikal dan ekstrem salah satu penyebabnya karena pemahaman keagamaan didapat secara instan dan tidak mendalam.
“Sehingga berpengaruh terhadap refleksi atau artikulasi pemahaman keagamaan seseorang, sehingga dirasa perlu untuk membuat sebuah program (5.000 kiai)," jelasnya.