Jumat 14 Dec 2018 08:46 WIB

Jejak Tahlilan dalam Kitab Ulama Minangkabau Abad Ke-18

Tahlilan sudah dikenal beberapa abad lalu meski tak secara eksplisit disebut tahlil.

Kitab Kifayah al-Ghulam
Foto: Dok Istimewa
Kitab Kifayah al-Ghulam

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Aktivitas tahlilan sudah mendarahdaging dalam tradisi masyarakat Indonesia. Beberapa karya ulama Nusantara bahkan pernah mencantumkan bahasan terkait dengan susunan tahlil dalam kitab mereka. Salah satunya adalah kitab Kifâyah al-Ghulâm fî Bayân Arkân al-Islâm.

Menurut Direktur Islam Nusantara Centre, Ahmad Ginanjar Sya’ban, kitab ini merupakan karya ulama Nusantara yang hidup pada akhir abad ke-18 M dan awal abad ke-19 M serta lama bermukim di Makkah, yaitu Syekh Isma’il bin ‘Abdullah al-Khalidi al-Mankabawi (wafat sekitar 1275 H/ 1858 M).

Ginanjar menjelaskan, Syekh Ismail menulisnya dalam “fasal pada menyatakan khatam Alquran dan menyatakan tertib-tertib”. Tertib-tertib tersebut dimulai dengan membaca surah al-Ikhlash, lalu dilanjut dengan membaca surah  Mu’awwidzatain (al-Falaq dan an-Naas), lalu membaca surah al-Fatihah. 

Setelah bacaan itu, kata Ginanjar yang merupakan alumni al-Azhar, Kairo Mesir itu, dilanjut dengan awal surah al-Baqarah hingga akhir ayat ke-5, lalu dilanjut dengan ayat Kursi, lâ ikraha fi al-din hingga akhir ayat ma la thaqata lana bih, lalu membaca wa’fu ‘annâ, dan seterusnya sebanyak tujuh kali, dilanjut dengan membaca “ya arham al-rahimin” sebanyak tujuh kali, juga bacaan-bacaan lainnya seperti kalimat tahlil, istigfar, shalawat, hingga ditutup dengan doa khatam Alquran. 

Lebih lanjut, Ginanjar mengemukakan, kitab Kifayah al-Ghulam berisi kajian pokok-pokok ajaran ilmu fikih Islam (rukun Islam yang lima) Mazhab Syafi’i. 

Mulai dari jenis-jenis najis, tatacara bersuci, melaksanakan shalat dengan segala syarat, rukun, wajib, sunah, makruh, dan haramnya, menunaikan zakat dengan segala perinciannya, demikian juga membahas puasa, berhaji, umrah, hingga nikah.

“Kesemua itu dikaji dengan ringkas namun padat,” kata dia dalam keterangannya kepada Republika.co.id, di Jakarta, Jumat (14/12).

Ginanjar memaparkan, karya ini ditulis dalam bahasa Melayu beraksara Arab. Dirinya mendapatkan kitab ini dalam versi cetak yang dikeluarkan oleh al-Haramain di Jakarta-Singapura pada Agustus 2017 lalu di sebuah toko kitab kecil di Pasar Parung, Bogor. 

Dalam versi cetak ini, ujar dia, tebal kitab Kifâyah al-Ghulâm sebanyak 44 halaman. Disertakan juga dua kitab yang lain, yaitu Kitâb al-Buyû’ dengan pengarang anonim (dalam dua halaman saja), juga Kitâb al-Faraidh karangan Syekh Abdul Rauf Singkel (dalam 14 halaman). “Keduanya juga ditulis dalam bahasa Melayu aksara Arab (Jawi),” tutur dia.

Ginanjar menambahkan, dalam menerangkan beberapa kajian peribadatan dalam kitab ini, Syekh Ismail kerap menyebutkan beberapa referensi yang menjadi acuan kitabnya ini ditulis, seperti kitab al-Hawi karangan al-Razi, Ihya ‘Ulum al-Din karangan al-Ghazali, dan lain-lain.

Lantas siapakah Syekh Ismail? Ginanjar menjelaskan, Syekh Ismail  dilahirkan di Tanah Datar, Minagkabau, pada akhir abad ke-18 M. Sejak kecil, Ismail dibawa oleh ayahnya, yaitu Syekh Abdullah Minangkabau, untuk pergi berhaji sekaligus bermukim di Makkah. 

Di sana beliau belajar kepada sejumlah ulama di antaranya Syekh ‘Utsman al-Dimyathi (w 1848), Syekh Dawud al-Fathani (w 1847), Syekh ‘Athaillah bin Ahmad al-Mashri. 

Di Makkah, Syekh Ismail Minangkabau belajar selama kurang lebih 35 tahun. Di sana juga beliau berbaiat Tarekat Khalidiyyah kepada Syekh Khalid Dhiya al-Din al-Kurdi, mursyid tarekat Naqsyabandiyyah sekaligus pengasas anak cabangnya, yaitu Tarekat Khalidiyyah Naqsyabandiyyah. 

“Di kemudian hari, Syekh Ismail al-Khalidi menjadi pembawa tarekat ini ke Nusantara yang sampai saat ini masih lestari, khususnya di daerah Minangkabau, Riau, dan Semenanjung (Malaysia),” jelas Ginanjar. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement