Rabu 28 Nov 2018 05:01 WIB

Lembah Uranah, Perpisahan Rasul, dan Catatan Burton

Wukuf Arafah menjadi saksi bisu sempurnanya risalah Islam.

Peziarah mengambil gambar bentangan wilayah Namirah dan Lembah Uranah dari puncak Jabal Rahmah di Arafah, Makkah
Foto: Republika/Fitrian Zamzami
Peziarah mengambil gambar bentangan wilayah Namirah dan Lembah Uranah dari puncak Jabal Rahmah di Arafah, Makkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fitriyan Zamzami*

Pada dini hari 9 Dzukhijjah, bertepatan dengan 13 September 1853, Richard Francis Burton, seorang pengelana asal Inggris, mengenang bagaimana ia terbangun oleh dentuman meriam saat sedang berkemah di dekat Jabal Rahmah di Arafah, Makkah. Suara itu, kata dia, untuk mengingatkan para jamaah bahwa hari wukuf di Arafah akan dimulai.

Burton, satu dari sedikit saja orang Eropa yang berani menginjakkan kaki ke Tanah Suci saat itu, kemudian mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat Subuh untuk menjaga penyamarannya sebagai seorang Muslim. 

Selepas itu, seperti yang ia tuturkan dalam karyanya A Personal Narrative of a Pilgrimage to Al-Madinah and Meccah, Burton bersama seorang bocah pemandu bernama Muhammad menjelajahi sejumlah lokasi di Jabal Rahmah. 

“Tempat pertama yang kami kunjungi adalah sebuah titik di bagian tenggara kami menginap, tempat kaki tempat gunung mulai meninggi, sekitar sembilan puluh meter dari puncak bukit. Lokasi itu dinamai “Jami’ al-Sakhrah” alias “Tempat Berkumpulnya Bebatuan”. Di situ ada dua batu besar dari granit… sepetak kecil di kaki gunung itu dikelilingi tembok batu dengan cat putih yang sudah usang. Bagian dalamnya dipisah menjadi dua bagian yang sama besar untuk perempuan dan laki-laki, serta ada ceruk untuk menunjukkan arah kiblat ke Makkah,” tulis Burton. Pada ilustrasi Burton di bukunya, mihrab bangunan itu berada di tembok bagian barat dan batu-batuan berada di bagian timur, sementara tembok utara berdempetan dengan Jabal Rahmah.

Ada kisah apa di lokasi tersebut? Untuk mengetahuinya, kita harus mundur ke tahun ke-10 Hijriyah atau 632 Masehi. Saat itu, ketika beliau berumur 63 tahun, Rasulullah SAW menyampaikan keinginannya melaksanakan haji ke Makkah. Ia kemudian mengirimkan utusan ke berbagai suku Arab untuk memberitahukan kabar tersebut dan ribuan kemudian ikut serta.

Ia adalah rombongan haji terbesar saat itu. Di perjalanan dari Madinah menuju Makkah, banyak lagi yang bergabung dengan rombongan Rasulullah sehingga jumlah yang berangkat kala itu, dicatat berbagai riwayat, mencapai 100 ribu atau 114 ribu, atau 120 ribu orang. 

Singkat cerita, Rasulullah mencapai Makkah, melaksanakan umrah, kemudian tiba di Mina untuk bermalam sepanjang 8 Dzulhijjah. Dicatat dalam Sunan Ibn Majah, Pada pagi hari 9 Dzulhijjah, Rasulullah bersama rombongan bertolak ke Namirah di batas wilayah Arafat, sekira 1,2 kilometer di sebelah barat Jabal Rahmah. Beliau mendirikan tenda di lokasi tersebut, menanti hingga matahari tergelincir untuk kemudian menaiki untanya, al-Qaswah, menuju lembah Uranah di antara Namirah dan Jabal Rahmah.

Para sahabat yang menyaksikan kejadian itu bersaksi bagaimana mereka melihat barisan unta-unta dan manusia-manusia seperti tak putus hingga ke cakrawala menuju Jabal Rahmah. Yang laki-laki, seluruhnya berpakaian Ihram, dua lembar kain putih tanpa tutupan jahitan. Di tengah kerumunan raksasa itu, di lembah Uranah, sembari duduk di atas al-Qaswah itu, Rasulullah mengucapkan perpisahan.

“Wahai manusia, dengarlah baik-baik apa yang hendak kukatakan. Aku tidak tahu apakah aku dapat bertemu lagi dengan kalian setelah tahun ini…” kata Rasulullah membuka khutbah terakhirnya di hadapan hampir seluruh pemeluk Islam saat itu. Jumlah yang sudah berlipat ganda sedemikian rupa dibandingkan puluhan yang mula-mula menerima ajarannya di Makkah hanya dua dekade sebelumnya.

Pada khutbah tersebut, Rasulullah menanamkan pesan-pesan terpentingnya bagi Islam. Mengingat jumlah besar jamaah saat itu, khutbah Rasulullah dilantangkan sejumlah sahabat, dan kemudian disampaikan dari mulut ke mulut agar pesan sampai hingga ke ujung rombongan. 

Rasulullah berpesan soal berpegang teguh pada Alquran dan sunah saat beliau nantinya tiada, soal kesucian tanah haram dan bulan suci, kesucian jiwa-jiwa manusia dan harta benda mereka, larangan menyakiti orang lain, seruan penghormatan terhadap perempuan, penghapusan hutang darah dan riba, juga kesetaraan ras umat manusia. 

Pada akhir khutbah, Rasulullah menengok ke langit dan berseru. “Ya Allah, telah aku sampaikan risalah ini kepada hamba-hamba-Mu!”. Seketika lembah bergetar oleh balasan serentak seratus ribu lebih jamaah. “Ya, Rasulullah. Kami menyaksikan!”.

Namirah, lokasi Rasulullah berdiam dalam tenda saat itu, kini jadi lokasi dibangunnya Masjid Namirah. Masjid itu terbagi menjadi dua wilayah, satunya masuk dalam perimater Arafah, yang sebelah barat di luarnya. Sementara Lembah Uranah kini wilayah yang rimbun ditanami pepohonan di sela tenda-tenda putih.

Pada puncak musim haji, lembah itu penuh dengan ratusan ribu, bahkan jutaan jamaah berihram. Namun di luar musim haji, ia tiba-tiba jadi lokasi yang amat sepi tanpa satupun manusia. Menyisakan tenda-tenda kosong tak berpenghuni, sunyi senyap.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement