REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Putri almarhum presiden RI keempat Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Yenny Wahid mendapat kesempatan berbicara tentang peran perempuan di Forum Perdamaian Paris (Paris Peace Forum), yang berlangsung di Paris, Prancis 11-13 November 2018.
Dalam forum tersebut Yenny menjadi satu dari 12 Anggota Komite Pengarah Forum Perdamaian Paris yang dipimpin mantan dirjen World Trade Organisation Pascal Lamy dan pendiri organisasi nonprofit SheSays India, Trisha Shetty.
Yenny beserta seluruh anggota Komite Pengarah akan memberikan masukan kepada Komite Eksekutif guna membawa arah pembicaraan dan negosiasi dalam Forum Perdamaian Paris.
Yenny Wahid mengaku dipilih berkaitan dengan aktivitasnya bersama Nahdlatul Ulama dan dinilai mampu bekerja mempromosikan perdamaian hingga ke akar rumput, pemberdayaan perempuan termarjinalisasi, serta pikirannya yang tercurahkan untuk Wahid Foundation.
"Saat ini fokus saya secara profesional adalah membangun jaringan internasional untuk kampanye perdamaian,” kata dia dalam keterangannya kepada Antara, Senin (12/11).
Dia mengatakan, secara perlahan pihaknya mulai mendapat pengakuan dari lembaga-lembaga dunia. Misalnya belum lama ini bekerjasama dengan UN Women, lembaga PBB yang menangani masalah perempuan untuk menjalankan program Perempuan Untuk Perdamaian.
Yenny menjadi satu-satunya anggota Komite Pengarah Forum Perdamaian Paris dari kawasan Asia Tenggara. Sejumlah tokoh yang masuk dalam jajaran Komite Pengarah antara lain Rouba Mhaissen dari Lebanon, Haifa Dia Al-Attia dari Yordania, dan Huiyao serta Zhimin Chen dari Cina.
Dalam forum itu Yenny akan berbicara dalam salah satu sesi tentang peranan perempuan dalam memperjuangkan perdamaian. Program yang telah dirintis Yenny selama ini di Tanah Air adalah program Desa Damai dan sistem deteksi dini radikalisme.
"Saya akan memaparkan tentang program bernama Desa Damai yang bertujuan memberikan tingkat harapan hidup lebih besar dan lebih tinggi,” tutur dia.
Dia menjelaskan, dalam program Desa Damai ini ada beberapa komponen yang harus ada, di antaranya, pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan ceramah agama.
Selain itu Yenny juga akan mengampanyekan program pelatihan masyarakat dalam menciptakan sistem deteksi dini terhadap potensi radikalisme yang terjadi di lingkungan sekitar.
Dengan menggabungkan kedua komponen ini yakni ekonomi dan agama, kata Yenny, persoalan radikalisme di pedesaan akan mampu diatasi.
"Setelah berjalan Program ini ternyata mampu menginspirasi dunia dan banyak negara yang melirik program tersebut," beber Yenny.
Program perempuan untuk perdamaian dengan fokus perempuan di desa telah dimulai Yenny aejak awal 2018.
Pada 2017 lalu Yenny juga menjadi perwakilan Indonesia dalam pembentukan dewan toleransi dan perdamaian global di Pulau Malta, bersama perwakilan tujuh negara lainnya antara lain AS, Mesir, UEA.