Rabu 17 Oct 2018 16:00 WIB

Menyewakan Barang dan Jasa

Syariat mengesahkan praktik sewa karena dalam kehidupan sosial memang dibutuhkan.

Jasa penukaran uang di jalanan (ilustrasi).
Foto:

Menurut Sayyid Sabiq, syariat mengesahkan praktik sewa karena memang dalam kehidupan sosial dibutuhkan. Sewa dikatakan sah jika kedua belah pihak telah melakukan kesepakatan. Kedua belah pihak berkemampuan yang artinya berakal dan dapat membedakan yang baik dan buruk.

Mazhab Syafi’i dan Hanbali menambahkan syarat lainnya, yaitu balig. Di sisi lain, barang yang disewakan bukanlah yang diharamkan. Tak hanya itu, kesepakatan sewa yang bertujuan untuk kemaksiatan, hukumnya haram. Sebut saja, seseorang yang menyewa jasa orang lain untuk membunuh atau menyewa rumah untuk bisnis judi dan arak.

Demikian pula, dengan pembayaran jasa peramal dan dukun. Kompensasi atas jasa itu diharamkan dan termasuk memakan uang manusia dengan cara batil,” kata Sayyid Sabiq. Abdul Azhim bin Badawi Al-Khalafi, melalui bukunya Al-Wajiz, menyampaikan pandangan sama, yaitu menegaskan larangan sewa yang berbau kemaksiatan.

Dalam Surah An-Nur ayat 33, kata dia, dijelaskan Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi.” Sedangkan sewa yang diperbolehkan adalah menyewakan tanah.

Namun, harus dijelaskan apakah sewa itu dalam bentuk tanah, tumbuhan, atau bangunan yang ada di atas tanah itu. Hal lain yang diperbolehkan adalah menyewakan rumah untuk tempat tinggal. Terlepas apakah nantinya ditempati oleh penyewa atau orang lain. Sayyid Sabiq memaparkan, barang yang disewa merupakan amanah.

Dengan demikian, penyewa mestinya mampu menjaganya dengan baik. Saat ada kerusakan yang disengaja, ia wajib mengganti. Selanjutnya, barang sewa wajib dikembalikan kepada penyewa setelah masa kesepakatan dalam sewa berakhir. Bila berbentuk benda bergerak, wajib menyerahkannya kepada pemiliknya.

Dan, jika dalam bentuk benda tak bergerak, mesti dikembalikan dalam keadaan kosong. Saat sewa rumah berakhir, rumah itu dikembalikan kepada yang punya dalam keadaan kosong seperti sedia kala. Tanah pertanian yang pada masanya harus dikembalikan maka harus dalam kondisi kosong dari tanaman.

Dalam praktik keseharian, muncul fenomena soal sewa jasa untuk ibadah. Para ulama berbeda pandangan mengenai hal itu. Mazhab Hanafi menjelaskan, membayar jasa untuk praktik ibadah, seperti menyewa orang lain untuk shalat, puasa, melaksanakan haji, dan membacakan Alquran yang pahalanya untuk orang yang menyewanya, tak dibolehkan.

Diharamkan pula mengambil upah itu. Rasulullah menyatakan bacalah Alquran dan jangan jadikan hal itu sebagai mata pencaharian. Saat berbicara kepada Usman bin Abi Ash, Rasulullah mengatakan, jika dipilih sebagai muazin, jangan ambil upah dari kegiatan mengumandangkan azan itu.

Namun pada zaman sekarang, kata Sayyid Sabiq, banyak ulama memberikan pengecualian pada pengajaran Alquran dan ilmu-ilmu syariat. Fatwa mereka mengatakan, boleh mengambil upah itu sebagai perbuatan baik. Pada masa awal Islam, mereka yang mengajarkan agama diberi hadiah oleh orang kaya dan dari dana baitul mal.

Hal itu dilakukan agar mereka yang mengajarkan agama itu tak menghadapi kesulitan hidup. Apalagi, mereka tak berpenghasilan dari tanah pertanian atau perdagangan. Sebab, waktu mereka habis untuk mengajarkan agama. Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Ibnu Hazm membolehkan upah bagi yang mengajarkan Alquran dan ilmu.

Alasannya, pembayaran itu dikelompokkan sebagai imbalan terhadap perbuatan dan usaha yang diketahui dengan jelas. Ibnu Hazm menguraikan, pemberian jasa untuk pengajaran Alquran dan ilmu agama boleh secara bulanan atau langsung.

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement