Jumat 21 Sep 2018 16:13 WIB

Logika Sang Imam yang Brilian

Rasionalitas Abu Hanifah berpijak pada Alquran dan hadis.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Agung Sasongko
Ibadah/ilustrasi
Foto:

Peristiwa debat juga pernah tampak ketika Abu Hanifah berdialog dengan pentolan aliran Jahmiyah, Jahm bin Shafwan.“Saya datang untuk membicarakan beberapa hal yang sudah saya persiapkan,” kata Jahm.

“Berdialog denganmu adalah cela dan larut dengan apa yang engkau bicarakan berarti neraka yang menyala-nyala,” timpal Abu Hanifah.

Tidak terima dengan celetukan itu, Jahm membantah, “Bagaimana bisa Anda memvonis saya demikian, padahal Anda belum pernah bertemu denganku sebelumnya dan belum mendengar pendapat-pendapat saya?”

Dengan tegas pula, Abu Hanifah mematahkan pembelaan Jahm. “Berita-berita tentangmu telah saya terima dan menurut saya pendapat itu tidak layak keluar dari seorang Muslim,” tuturnya.

“Anda menghakimi saya secara sepihak?” kata Jahm

Abu Hanifah menjawab, “Baik orang awam atau ulama mengetahui perihal Anda sehingga boleh bagiku menghukumi dengan sesuatu yang telah mutawatir kabarnya tentang Anda.”

“Saya tidak ingin membicarakan atau menanyakan apa-apa kecuali tentang keimanan,” ujar Jahm.

“Apakah hingga saat ini kamu belum tahu juga tentang masalah itu hingga perlu menanyakannya kepada saya?” kata Abu Hanifah.

Jahm menjawab, “Saya memang sudah paham, tapi saya meragukan salah satu bagiannya.”

“Keraguan dalam keimanan berarti kufur,” celetuk Abu Hanifah.

“Anda tidak boleh menuduh saya kufur sebelum mendengar tentang apa yang menyebabkan saya kufur,” kata Jahm berkilah.

Abu Hanifah mempersilakan. “Silakan bertanya!”

Jahm akhirnya bertanya perihal orang yang meninggal, sementara dia tidak sempat menyatakan keimanannya itu dalam lisan meski sudah berikrar dalam hati. Apakah orang tersebut dihukumi kafir atau mukmin?

Abu Hanifah menjawab demikian, “Dia mati dalam keadaan kafir dan menjadi penghuni neraka bila tidak menyatakan dengan lidahnya apa yang diketahui oleh hatinya, selagi tidak ada penghalang baginya untuk mengatakannya.”

Jawaban tersebut sempat tidak diterima oleh Jahm. Abu Hanifah pun mengajukan syarat, bila pentolan Jahmiyah itu mau menerima dalil Alquran, Sang Imam akan mengutarakannya.

Setelah syarat itu diterima, akhirnya Sang Imam mengutarakan deretan ayat Alquran yang mendukung pendapatnya. Di antaranya, surah al-Maidah ayat 83-85. Rentetan dalil Alquran dan hadis dibeberkan Abu Hanifah. Ini membuat Jahm terdesak dan memutuskan untuk pergi dari hadapan Sang Imam. Beragam kisah di atas tentu wajar bila Abu Hanifah dinobatkan sebagai peletak dasar ilmu teologi. Inilah mengapa Imam Malik memuji kecerdasan sahabatnya itu. “Seandainya berkata bahwa tiang masjid itu emas, niscaya perkataannya menjadi dipakai orang sebagai argumen.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement