REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kembali ke abad ke-10, di selatan Spanyol hidup seorang ahli bedah mutakhir bernama Abul Qasim Khalaf bin al-Abbas al-Zahrawi. Dunia Barat mengenalnya dengan Abulcasis. Salah satu karyanya adalah ensiklopedia medis al-Tasrif yang terdiri atas 30 volume.
Bukunya menjadi referensi standar di dunia bedah Islam dan Eropa selama lebih dari 500 tahun. Dalam bukunya terdapat bab yang membahas bedah, obat-obatan, farmakologi, dan nutrisi. Lebih dari 300 penyakit beserta pengobatannya ia jelaskan dalam bukunya.
Ia mengamati, memikirkan, mempraktikkan, dan memperlakukan tiap pasiennya dengan kemampuan terbaiknya dan kecerdikan. Hingga di masa modern ini, ia dikenal sebagai ahli bedah terkemuka.
Al-Zahrawi di masanya menjadi dokter bagi penguasa Andalusia, al-Mansur. Ia lahir pada 936 dan meninggal pada 1013 di Spanyol. Spanyol saat itu adalah bagian dari kerajaan Islam.
Al-Zahrawi adalah seorang dokter, ahli bedah, dan ahli kimia. Ia membuat terobosan revolusioner dalam operasi bedah dengan memperkenalkan prosedur baru. Dalam bukunya, ia menulis secara lengkap mengenai kedokteran gigi, farmasi, dan ilmu bedah. Di dalam al-Tasrif ditekankan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat menghadapi bermacam-macam situasi medis.
Di dalam al-Tasrif terdapat bab yang memperkenalkan lebih dari 200 buah alat bedah. Menggunakan peralatan dalam operasi bedah adalah sebuah konsep revolusioner. Mengapa? Sebab, hal itu mengubah ilmu pengetahuan yang sebelumnya bersifat spekulatif menjadi eksperimental.
Dunia mencatatnya sebagai acuan alat bedah pertama dalam sejarah medis. Bahkan, desain alat bedah ini sangat akurat sehingga hanya mengalami sedikit perubahan bentuk dalam ribuan tahun. Gambaran alat bedah tersebut mendasari operasi bedah di Eropa.