REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Betapa terperanjatnya Abu Bakar ash-Shidiq RA. Saat ia bersua dengan Hazalah al-Usaidi, sahabat Nabi itu menilai dirinya telah menjadi orang munafik.
Suatu ketika Abu Bakar bertemu dengan Hanzalah di jalan. Abu Bakar pun bertanya kabar. "Apa kabar wahai Hanzalah?"
"Hanzalah telah munafik!" jawab Hanzalah tegas. Sontak perkataan sahabat Nabi itu mengagetkan Abu Bakar. "Maha suci Allah! Mengapa kamu berkata sedemikian wahai Hanzalah?" tanya Abu Bakar.
Ia pun menjawab, "Bagaimana saya tidak jadi seperti orang munafik! Apabila kita berada di sisi Nabi Muhammad SAW, baginda mengingatkan kita tentang neraka dan surga sehingga seolah-olahnya kita dapat melihatnya di hadapan mata kita. Tetapi, apabila kita beredar meninggalkan baginda, kita telah dilalaikan dengan anak dan harta benda kita, sehingga kita melupakan peringatan yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad itu."
Kita paham lanjutan dari hadis yang diriwayatkan Imam Muslim ini. Abu Bakar RA memiliki kegundahan yang sama. Padahal, kita juga paham bagaimana level keimanan seorang Abu Bakar RA.
Kegundahan yang dirasakan Hanzalah dan Abu Bakar RA seharusnya kita rasakan juga. Betapa saat berlinang air mata kala muhasabah, hati kita begitu menyesal dengan dosa-dosa. Saat kita lanjutkan iktikaf di masjid, hati kita begitu tertaut dengan rumah Allah.
Saat waktu fajar menjelang, kita tak ketinggalan dua rakaat sebelum Subuh. Saat imam shalat Subuh mengumandangkan takbiratulihram, kita sudah berdiri di shaf paling depan. Seusai salam, kita mengambil mushaf. Tilawah satu juz pun khatam tak kurang dari satu jam.
Saat matahari menyemburat, kita masih bersimpuh di masjid. Lalu dengan tenang mendirikan dua rakaat shalat syuruq. Semua kebaikan rasanya terlalu sayang kita lepaskan hari itu.
Namun, saat kita pulang ke rumah. Kembali ke tumpukan tugas-tugas di kantor. Bercengkerama dengan klien di gedung-gedung pencakar langit. Menandatangani perjanjian kontrak miliaran rupiah. Kita lalu lupa bagaimana lezatnya malam-malam saat muhasabah itu.
"Iman itu bisa bertambah dan berkurang," kata Nabi SAW suatu ketika. "Bertambah dengan amal, berkurang dengan maksiat." Menjadi wajar jika memang siklus keimanan seseorang adakalanya bertambah, tak pelak kerap kali turun.
Namun, alangkah lebih baik jika kita punya alarm waspada seperti Hanzalah. Ia tak melakukan maksiat. Justru mungkin sesuatu yang dianjurkan untuk berkumpul dengan keluarga. Namun ia takut. Jangan-jangan riang gembiranya ia bercengkerama dengan keluarga melalaikannya dari mengingat Allah.
Jangan pula keimanan kadang turun menjadi sebuah justifikasi jika seseorang sah-sah saja melakukan tindakan maksiat. Manusia memang tempat salah dan khilaf. Namun, bukan sebuah dosa yang terencana. Iman memang adakalanya turun. Memberi ruang bagi sifat kemanusiaan kita.
Namun, alangkah lebih baik jika kita terbiasa mendawamkan kebaikan sehingga amal kita terus menanjak. Membiasakan diri dalam kebaikan memang tak mudah. Butuh perjuangan ekstra. Namun, hal itu bukan sesuatu yang mustahil.
Jika saat berada di dalam masjid, kita seolah enggan sedetik pun tanpa amal, sejatinya begitu juga seharusnya dalam keseharian. Kuncinya ada pada lingkungan. Saat berada di lingkungan masjid, kita terbantu agar semangat amal terus menyala.
Maka bawalah lingkungan masjid itu dalam keseharian. Ciptakan kondisi lingkungan dari mulai rumah hingga aktivitas di luar, seperti masjid. Ada nuansa pengingat setiap kali kita ingin keluar jalur. Tanamkan kesadaran kepada anggota keluarga. Sehingga, mereka menjadi pengingat yang senantiasa hadir.
Meski tak ada salahnya pula kita sejenak memberi ruang pada keinginan, sebatas bukan hal yang makruh apalagi diharamkan. Karena meski kita ingin terus berada dalam kondisi yang serbaideal dalam keimanan, ada hak-hak jiwa yang harus ditunaikan.
Hal ini pula yang menjadi jawaban Rasulullah SAW atas kegundahan dua orang sahabatnya yang mulia itu. "Demi jiwaku yang berada dalam genggaman-Nya. Sesungguhnya jika kamu menepati keadaan seperti yang kamu biasanya berada di sisiku dan ketika dalam berzikir, niscaya kamu akan disamakan dengan malaikat di tempat-tempat duduk kamu dan di jalan-jalan kamu. Tetapi, wahai Hanzalah, sesaat begini (akhirat) dan sesaat begitu (dunia). Sesaat begini dan sesaat begitu. Sesaat begini dan sesaat begitu."