REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Allah SWT memandang seorang hamba dari kualitas iman dan ketakwaannya. Garis keturunan seseorang tak akan menyelamatkannya kelak pada hari kiamat.
Kisah yang termaktub dalam buku Mereka adalah Tabiin ini menegaskan tentang fakta tersebut. Seperti diteladankan oleh Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib atau yang dikenal dengan sebutan Zainul Abidin (hiasan para ahli ibadah), cicit Rasulullah SAW.
Perasaan masih banyak kekurangan dalam mengerjakan ibadah membuat orang yang berilmu, seperti Ali bin Husain takut bila kelak Allah SWT tidak menerima ibadahnya.
Terutama, ibadah shalat. Dia khawatir, bahkan bila shalat yang dia kerjakan justru menjadikannya termasuk pada golongan orang-orang yang munafik karena lalai saat mengerjakan shalat. "Maka, kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat." (QS al-Maa'uun : 4) .
Padahal, menurut Ibnu Abbas RA, ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang munafik karena mereka selalu memamerkan shalat mereka di hadapan orang-orang mukmin secara ria, sewaktu orang-orang mukmin berada di antara mereka. Tetapi, jika orang-orang mukmin tidak ada, mereka meninggalkan shalat, juga mereka tidak mau memberikan pinjaman barang-barang miliknya kepada orang-orang mukmin.
Namun, karena penghayatan yang mendalam dan rasa takut terhadap Allah, Zainul Abidin tetap tawadhu dan mengambil pesan tersirat dari ayat itu. Suatu hari, Thawus bin Kaisan pernah melihat Ali bin Husain berdiri di bawah bayang-bayang Ka'bah, gelagapan seperti orang tenggelam, menangis seperti ratapan seorang penderita sakit, dan berdoa terus-menerus. Dia menyadari bahwa kualitas ibadahnya masih perlu perbaikan yang menyeluruh.
Setelah Ali bin Husain selesai berdoa, Thawus bin Kaisan mendekat dan berkata, "Wahai cicit Rasulullah, kulihat Anda dalam keadaan demikian, padahal Anda memiliki tiga keutamaan yang saya mengira bisa mengamankan Anda dari rasa takut," katanya.
Mendengarkan perkataan Thawus Zainul Abidin meminta penjelasan. "Apakah itu wahai Thawus?"
Thawus dengan sigap menjelaskan, "Pertama, Anda adalah keturunan Rasulullah. Kedua, Anda akan mendapatkan syafaat dari kakek Anda dan ketiga, rahmat Allah bagi Anda."
Mendengarkan penjelasan Thawus seperti tadi, Zainul Abidin tidak menyembunyikan kegembiraanya ketika Thawus menyebut nama Rasulullah dan kewenangannya sebagai pemberi syafaat.
Namun, dia sedih kerena tiga hal juga. Dengan penuh ketegasan, Zainul Abidin menjelaskan satu per satu dari tiga hal keitimewaan yang disampaikan Thawus tadi.
"Wahai Thawus, garis keturunanku dari Rasulullah SAW tidak menjamin keamananku setelah kudengar firman Allah. 'Kemudian ditiup lagi sangkakala, maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka hari itu,'" kata Zainul mengutip keterangan dalam Alquran surah al-Kahfi ayat ke-99.
Adapun tentang syafaat kakekku, kata Zainul Abidin, Allah telah menjelaskannya dengan menurunkan Alquran surah al-Anbiya ayat ke-28. "Mereka tiada memberi syafaat, melainkan kepada orang yang diridhai Allah," katanyaMendengar penjelasan itu, Thawus mengangguk tanpa kata. Dan, Thawus pun tertunduk.
Mengenai rahmat Allah, Zainul Abidin menjelaskanya seperti yang ditulis dalam Alquran surah al-A'raf ayat ke-56. "Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik," katanya.
Mendengar jawaban itu, kali ini Thawus tidak lagi mampu memandang wajah Zainul Abidin. Dia sadar pernyataanya tetang hal tadi bukan cerminan orang yang berilmu.
Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib merupakan keturunan Rasulullah SAW. Dia tidak lalai dalam mengerjakan amalan-amalan saleh agar Allah SWT menghendaki dia diberi syafaat oleh kakeknya, Rasulullah SAW, pada hari akhir