REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai politik (parpol) menjadi elemen penting sebuah negara yang menganut demokrasi. Sistem yang memberikan perwakilan kepada anggota partai untuk merumuskan sebuah peraturan perundangan yang mengatur seluruh rakyat di negara tertentu.
Namun, adanya parpol dinilai akan menjadi penyebab perpecahan umat. Parpol membawa kepentingan masing-masing dan sulit untuk bersatu kecuali dalam merebut kekuasaan. Ada kekhawatiran, parpol yang beragam akan membuat aspirasi umat Islam sulit terealisasi. Lalu, bagaimanakah kaidah aktif di partai politik?
Syekh Yusuf Qaradhawi membahas panjang lebar dalam Hadyul Islam Fatawi Mua'shirah. Syekh Yusuf Qaradhawi menegaskan, dalam syarak tidak ada larangan partai politik. Karena, larangan salam syariat memerlukan nas dan tidak ada nas khusus yang menyebutkan tentang haramnya parpol.
Keberadaan parpol saat ini menjadi wasilah untuk memerangi kesewenang-wenangan pemerintah yang berkuasa dan mengoreksinya agar kembali ke jalan yang lurus. Lewat saluran parpol, kewajiban amar makruf nahi mungkar terhadap kebijakan sebuah pemerintahan bisa dijalankan. Terlebih, ungkap Syekh Yusuf Qaradhawi, sistem yang dipakai pemerintahan sebuah negara masih belum bisa menjalankan hukum-hukum Allah.
Kewajiban amar makruf nahi mungkar adalah hak dari pemimpin dan kewajiban rakyat. Apabila umat sudah mengabaikan kewajiban ini, hilanglah keistimewaan mereka sebagai umat. Allah SWT berfirman dalam surah al-Maidah ayat 79. "Mereka satu sama lain selalu tidak saling melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya, amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu."
Dalam hadis dari Abdullah bin Amr, Nabi SAW bersabda. "Apabila umatku sudah takut mengatakan kepada orang zalim: ‘Wahai orang zalim!’ maka diucapkan selamat tinggal kepada mereka.” (HR Ahmad dan Hakim).
Kewajiban amar makruf nahi mungkar ini bisa dilihat juga dalam pidato Abu Bakar as-Shidiq ketika diangkat menjadi khalifah. "Wahai sekalian manusia, jika aku berbuat baik maka tolonglah aku dan jika aku berbuat salah maka luruskanlah aku. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dalam memimpin kalian, dan jika aku melanggar kepada Allah maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk menaati aku."
Namun, secara khusus Syekh Yusuf Qaradhawi menggarisbawahi partai yang boleh dibentuk harus mengakui Islam sebagai akidah dan syariah serta tidak menentang atau mengingkarinya. Kemudian, tidak melakukan aktivitas yang arahnya memusuhi Islam dan umatnya. Maka, tidak boleh, ungkap Syekh Qaradhawi, mendirikan partai yang mengajak kepada ateisme, sekularisme, dan mencela agama Islam atau agama samawi secara umum.
Perbedaan menyikapi parpol dalam Islam bisa dibagi menjadi tiga. Pertama, kelompok yang membolehkan. Mereka beralasan, syura bisa memberikan kepastian, kepala negara dipilih melalui pemilu dengan masa jabatan yang dibatasi. Ahli syura (anggota parlemen) harus orang-orang yang diridhai masyarakat melalui pemilihan. Pendapat ini juga mengatakan, wanita boleh memberikan hak suara serta berhak ikut dipilih sebagai wakil rakyat.
Kelompok kedua menolak sistem ini dan mengatakan, syura hanya membuat pernyataan bukan keputusan. Kepala negara dipilih oleh ahlul halli wal-aqdi (majelis permusyawaratan) untuk seumur hidup dan pemilihan umum, bukan wasilah syariah. Termasuk, wanita tidak punya hak dicalonkan dan memberikan suara.
Pendapat ketiga tidak menerima atau menolak pendapat pertama dan kedua secara keseluruhan. Mereka mengambil beberapa pendapat kelompok pertama dan beberapa dari kelompok kedua.
Komisi Fatwa dan Riset Kerajaan Arab Saudi memfatwakan, seseorang boleh bergabung dengan partai politik dengan syarat yang sangat berat. Di antaranya, orang tersebut wajib memiliki iman yang kuat, keislaman terbentengi dengan kokoh, paham efek dari parpol, memiliki tutur kata yang baik, dan mampu memberi pengaruh atas kebijakan partai tersebut, sehingga mendukung kebijakan yang Islami.
Jika tidak mampu, ujar lembaga yang saat itu diketuai Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, hendaknya dia menghindari bergabung dengan partai politik. Karena, jika ia tidak mampu memengaruhi kebijakan partai agar pro terhadap kebijakan umat, ia hanya akan mendapat fitnah dan kerusakan.