REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Martin Lejeune lahir pada 27 Juli 1980 di Hanover, Jerman. Dia menghabiskan masa kecilnya hingga remaja di Nuremberg dan Bielefeld. Masa muda dilaluinya dengan mendalami pendidikan ilmu politik di Universitas Otto Suhr Institut of the Free Berlin.
Sejak dulu, dia dikenal sebagai penulis kritis, terutama tentang Israel yang menurutnya telah melakukan penjajahan dan kejahatan kemanusiaan. Sementara, negara lain, termasuk negara adidaya, membiarkan, bahkan tragisnya justru mendukung Israel.
Tak hanya membuat tulisan analisis tentang Israel, dia juga terjun meliput konflik Israel-Gaza secara langsung pada 2014. Tulisannya yang banyak dibahas adalah terkait eksekusi 18 warga Palestina di Gaza pada tahun yang sama.
Lejeune merupakan jurnalis untuk media Jerman. Profesi itu didedikasikannya untuk banyak menulis tentang konflik Palestina-Israel dan Islam. Karyanya yang juga menjadi sorotan adalah tentang konflik Suriah.
Kegemarannya menulis tentang dunia Islam mengantarkannya pada pertanyaan mendasar tentang keyakinan: Apakah Islam? Seperti apa ajarannya? Apa bedanya dengan agama lain? Dan, banyak lagi pertanyaan yang mendorongnya untuk lebih dekat dengan Islam.
Dilansir dari aboutislam.net, pada Selasa (5/7/2016) Masjid Arresala di Berlin ramai merayakan Idul Fitri. Tapi, ada yang berbeda dari biasanya. Jurnalis yang terkenal karena pembelaannya terhadap Palestina mengumumkan keislamannya di hadapan ratusan jamaah shalat Id. Lejeune mengucapkan syahadat dan seluruh jamaah kemudian mengucapkan selamat kepadanya.
Imam Masjid Arresala Khedr Modi pun tak ketinggalan mengucapkan selamat kepadanya. Dia bersyukur karena Lejeune telah mendapatkan hidayah dengan jalannya sendiri.
Dua hari setelah mengumumkan keislamannya, dia mulai mengampanyekan peringatan korban perang Israel. Dia berunjuk rasa di depan kedutaan Inggris di Berlin dengan sebuah spanduk bertuliskan Miliaran hadiah senjata berat dari Jerman untuk Israel.
Awalnya, dia ingin melakukannya di sebuah tugu memorial korban Holocaust, tapi polisi Berlin tidak mengizinkannya. Padahal, korban yang jatuh di jalur Gaza sama dengan peristiwa Holocaust.
Tak hanya menulis artikel dan berunjuk rasa, Lejeune mulai melakukan pidato publik menyebut Israel sebagai nakba (bencana terbesar). "Jerman bersalah karena terjadinya Holocaust. Tidak boleh ada Holocaust lain di Palestina. Israel bertanggung jawab atas genosida," jelas dia.
Saksi genosida di Palestina
Karena ucapannya bahwa Israel melakukan kejahatan genosida, dia pun bersedia menjadi saksi atas kejahatan yang dilakukan Israel. "Saya melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana mereka membantai Muslim dan Kristen."
Lejeune menawarkan diri kepada Kepala Strategi Alquran Bilal Gumus dan sejumlah tokoh kemanusiaan dan Islam. Suatu saat, Le jeune mengadakan pertemuan dengan mereka. Hadir di tengah mereka Bernhard Falk sebagai simpatisan Alqaedah. Tapi, dengan keberadaannya, Lejeune tak merasa terganggu.
Meski dia tidak diundang, memang dalam suatu acara akan ada beberapa yang hadir. Falk pun membuat spanduk yang bertuliskan Anda tidak harus menjadi seorang Muslim untuk membela Gaza. Apa yang diperbuatnya merupakan cerminan diri sendiri.
Komitmennya kepada Ansaar International menguatkan posisi Lejeune di mata publik. Dia bahkan diundang ke konferensi pers internasional.
Menjadi korban penyerangan
Pada Juli 2018 Lejeune mengalami penyerangan dari sekelompok orang karena melaporkan kasus imigran Suriah yang tewas di Bremen, Jerman. Dia diserang di luar gedung pengadilan usai bersaksi pada kasus Odei Khaled anak usia 15 tahun yang tewas dipukuli.
Dia pun mengunggah foto di media sosial usai diserang. Ketika itu, dia mengalami luka memar di bagian wajah. Di awal persidangan, Lejeune hadir sebagai saksi. Sebelum sidang dimulai, Lejeune seharusnya diminta oleh hakim untuk meninggalkan ruangan sampai dipanggil.
Martin Lejeune menjelaskan dalam sebuah video bahwa dia telah diserang oleh beberapa orang di depan pintu masuk pengadilan distrik. Sementara seseorang menahannya, yang lain memukulnya. Ketika dia jatuh ke tanah, mereka kemudian menendang kepalanya saat terjatuh.
Sementara, saksi menyatakan bahwa polisi tidak menganggap serius insiden itu. Mereka tidak menyelidiki kasus ini dengan serius. Dia kemudian dibawa ke rumah sakit dalam kondisi memar di wajah.
Lejeune telah menghubungi kerabat korban Suriah pada malam tahun baru, setelah insiden itu dike tahui, sehingga membantu membawa kasus ini ke perhatian publik. Menurut saksi, anak Suriah yang terdaftar sebagai pengungsi mengalami diskriminasi di jalan Lussumer Heide di Bremen-Blumenthal pada malam pergantian tahun.
Beberapa pria muda mulai memukul remaja berusia 15 tahun itu. Bocah tersebut menderita luka parah di kepala, sehingga harus dirawat di rumah sakit dalam ke adaan koma. Hanya beberapa hari kemudian, bocah itu meninggal karena luka- lukanya yang serius. Mereka berasal dari Dataran Tinggi Golan dan melarikan diri pada 2015 melalui Turki ke Jerman.
Awalnya, polisi tidak ingin memublikasikan kasus itu karena pertimbangan penyelidikan, tetapi tampaknya reaksi yang meningkat di media sosial membuat mereka mengeluarkan pernyataan pers tentang penanganan kasus tersebut. Sejauh ini, tidak ada yang diketahui tentang motif penyerangan tersebut. Polisi menduga, tak menutup kemungkinan kasus itu dila tarbelakangi ideologi dan politik.
Sejauh ini, ketiga terdakwa diam, termasuk tersangka Jezid-Kurdi. Yang pasti adalah tersangka yang diduga berasal dari kelompok politik tertentu. Di jejaring sosial, gambar-gambar terdakwa membual tentang senjata dan simbol kelompok politik bermunculan.
Saat terjadi penyerangan, menurut Martin, tak ada polisi yang menghentikan mereka. Lejeune dikenal sebagai pendukung Erdogan, Presiden Turki. Dia bahkan menyebut nama Erdogan dalam cuitannya di Twitter sebagai bentuk dukungannya.