Jumat 20 Jul 2018 19:41 WIB

Bilal Philips, Mualaf yang Giat Berdakwah

Bilal mendalami Islam dari Universitas Madinah dan Universitas King Saud Riyadh.

Bilal Philips
Foto: .
Bilal Philips

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  “Tidak ada waktu untuk liburan ketika Anda menyadari betapa sedikit waktu yang ada dan betapa banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk Islam,” kata Bilal Philips, mengawali kisah hidupnya dari seorang non-Islam menjadi pakar Islam yang giat berdakwah.

Abu Ameenah Bilal Philips merupakan seorang mualaf yang mengabdikan dirinya pada pendidikan Islam. Ia sangat terpesona pada agama yang dibawa Rasulullah ini hingga mempelajarinya ke Haramain, tanah kelahiran Islam. Setelah mumpuni berislam dari Universitas Madinah dan Universitas King Saud Riyadh, ia pun menjadi dosen teologi Islam, bahkan membentuk Islamic Online University yang berpusat di Qatar.

Philips lahir di Jamaika di tengah keluarga intelek. Kedua orang tuanya merupakan guru, kakeknya bahkan seorang pendeta dan pakar Alkitab. Tak heran jika Philips tumbuh menjadi seorang Kristen yang taat. Pada usia 11 tahun Bilal ikut keluarganya pindah ke Kanada. Di kota itulah ia kemudian mengenyam pendidikan dan tumbuh dewasa.

Philips dan keluarganya sempat pindah ke Malaysia. Di sanalah kontak pertama Philips dengan Islam. Namun, ia belum tertarik pada agama rahmatan lil alamin ini. Saat itu, Philips masih masih sangat muda dan lebih suka bermain musik rock ketimbang memikirkan agamanya.

Tak lama, ia dan keluarga kembali ke Kanada. Saat Philips kuliah, pemuda tengah digandrungi pesta ganja. Namun, ia tak ikut serta, justru fenomena itu membuatnya mengambil pelajaran biokimia di samping kuliah seni yang ia dapat dengan beasiswa.

Pencarian jati diri Philips belum berakhir. Di kampus ia tertarik dengan politik mahasiswa. Ia pun terlibat dalam aksi mahasiswa. Ia kemudian belajar sosialisme dan tergila-gila dengan Marxis-Leninis. Lalu, ia menekuni sosial-pilitik hingga pergi ke California. Ia pun bergabung dengan para aktivis kulit hitam di sana.

Namun, Philips dikecewakan karena teman-temannya merupakan pecandu narkoba. Sikap antinarkoba masih berakar kuat dalam dirinya. Ia pun beralih haluan dan kembali ke Kanada. Philips mempelajari ideologi lain. Ia kemudian terpesona pada komunisme di Cina. Sosialisme rupanya mengakar kuat pada hatinya.

Ia pun pergi ke Cina untuk mendapat pelatihan perang gerilya pendukung komunisme. Namun, setibanya di sana, Philips merasakan hal sama saat ia bergabung dengan sosialis di California. Hanya saja kali ini bukan narkoba. Teman-teman komunisnya merupakan para perokok berat. Ia pun kembali kecewa dan kembali ke Kanada.

Saat kembali ke kampus, salah seorang teman perempuannya di kelompok mahasiswa dikabarkan memeluk Islam. Ia pun kemudian mulai mempelajari ajaran Islam. Ia membaca banyak literatur Islam dan ada satu buku yang memberikannya banyak pengaruh bagi hatinya. Buku tersebut bertajuk Islam; Agama yang Disalahpahami karya Muhammad Qutb.

Tak hanya mempelajari ajarannya, Philips juga mempelajari sejarahnya. Ia pun terpesona dengan peran Muslimin dalam pembebasan negara-negara Afrika dari kolonialisme Eropa. Ia makin merasakan ketertarikan pada Islam. Philips juga mulai membela Islam hingga kemudian memutuskan bersyahadat. “Saya mulai membela Islam. Akhirnya, beberapa introspeksi dan refleksi membuat saya memeluk Islam pada 1972,” ujarnya dalam biografinya di Saudi Gazzette.

Setelah berislam, Philips ingin menyempurnakan pengetahuannya tentang Islam. Tak puas mempelajari otodidak, ia pun memutuskan pergi ke tanah kelahiran Islam, Arab Saudi. “Saya bergabung dengan Universitas Madinah dan mengambil gelar dalam Ushuluddin (perbandingan agama) pada 1979. Kemudian, mengambil MA dalam teologi Islam dari Universitas Riyadh pada 1985 dan menyelesaikan Ph D dalam teologi Islam pada 1994,” katanya yang sangat haus mempelajari ilmu.

Setelah menjadi pakar Islam, Philips pun membagi ilmunya di banyak negara. Ia menjadi guru di Riyadh, dosen di UEA, hingga berdakwah di Filipina. Enggan membuang waktu, ia pun kemudian membangun kampus sendiri dengan pengajaran online, yakni Islamic Online University yang berpusat di Qatar.

 

Pengalaman Spiritual

Hingga memutuskan bersyahadat, Philips sesungguhnya pernah mengalami sebuah peristiwa spiritual yang menegangkan. Kepada Saudi Gazette ia mengaku, selama mempelajari Islam otodidak, ia hanya jatuh hati pada gaya politik Islam. Namun, dalam hal keimanan, Philips belum mampu membangunnya di hati. Konsep Tuhan yang selama ini ia pahami dalam filsafat komunis tentu sangat jauh berbeda dari Islam. “Dalam hati saya gagasan yang kabur tentang Allah masih ada,” ujarnya.

Keimanan kepada Allah baru dirasakan Philips setelah mengalami peristiwa menegangkan dalam mimpinya. Ia bermimpi mengendarai sepeda ke gudang. Lalu  memasukinya dan segalanya gelap gulita. Bulu kuduk Philips bergidik. Ia berusaha pergi dari sana. Tapi sejauh apa pun ia pergi, ia tak kunjung mampu keluar. “Serasa akan mati,” ujarnya.

Ia diliputi ketakutan yang sangat karena berada di ruang yang amat sangat gelap, tak ada setitik cahaya pun. Philips mulai menjerit mencari pertolongan. Namun, tenggorokannya tiba-tiba sesak tak mampu bersuara. Ia berusaha keras meminta bantuan, namun tak ada yang mampu ia lakukan. Badannya lemas, ia menyerah. Philips pun terbangun.

“Mimpi ini meninggalkan kesan berat bahwa tidak ada yang bisa membawa saya keluar dari situasi seperti itu, kecuali Tuhan. Hanya Tuhan yang mampu membawa saya keluar dari keadaan putus asa mutlak, dan membawa saya kembali,” katanya.

sumber : Oase Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement