REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Hal itu tertuang dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Dengan adanya ketentuan tersebut, sertifikasi halal tidak lagi menjadi sukarela (voluntary), tetapi wajib (mandatory) dilakukan oleh pelaku usaha untuk menyertifikasi semua produknya, tidak terkecuali produk UMKM.
Pelaku usaha wajib melakukan sertifikasi selambat-lambatnya 17 Oktober 2019 sebagaimana ketentuan Pasal 67 UU JPH. Pelaku usaha yang tidak melakukan kewajibannya (melakukan sertifikasi halal) dalam masa mandatory tersebut, dapat dikenakan sanksi berupa denda dan sanksi hukuman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 56 dan Pasal 57 UU JPH.
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Iksan Abdullah menilai ketentuan Pasal 4 undang-undang ini, yang mengatur sertifikasi halal adalah wajib bagi semua produk yang beredar, berarti negara mengatur dan membebani kewajiban bagi warga negara. Oleh karena itu, negara juga berkewajiban untuk memberikan subsidi kepada pelaku usaha.
“Oleh karena kemampuan pelaku usaha tidak sama, khususnya pelaku usaha UMKM yang jumlahnya besar dan produknya beragam, serta rentan dalam hal permodalan, maka pemerintah negara wajib memberikan bimbingan bagaimana melakukan sertifikasi halal dan wajib membiayai sektor usaha ini agar memiliki daya saing di pasar,” ujarnya dalam keterangan tulis yang diterima Republika.co.id, Jakarta, Kamis (21/6).
Menurut dia, dengan sertifikasi halal menjadi wajib, sesungguhnya negara telah hadir untuk memberikan perlindungan bagi pelaku usaha dan warga negara untuk adanya kepastian mengenai sistem jaminan produk halal. Sehingga, pelaku usaha dan masyarakat terlindungi kepentingannya.
“Kepentingan produsen adalah keberlangsungan usaha dan proteksi dari serbuan produk asing. Sementara, masyarakat memperoleh kejelasan mengenai status produk apakah halal atau tidak halal sehingga masyarakat dapat memilih dengan jelas sebelum memutuskan untuk membeli,” ucapnya.
Ia menyebut, niat baik pemerintah yang hadir dalam rangka perlindungan kepada pelaku usaha dan masyarakat masih harus menghadapi tantangan dari dunia internasional, khususnya dari negara-negara anggota World Trade Organization (WTO). Hal ini karena UU JPH mengatur bahwa sertifikasi halal dilakukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Karena BPJPH adalah badan di bawah Kementerian Agama, sertifikasi halal dapat dianggap sebagai kebijakan yang bersifat diskriminatif (non-tariff barrier). “Hal ini dapat menimbulkan konsekuensi apabila BPJPH benar-benar menerbitkan sertifikasi halal untuk produk sebagaimana diatur pada pasal 1 angka 1 maka dapat dipastikan Indonesia akan menghadapi berbagai gugatan dari negara-negara yang telah meratifikasi WTO,” ucapnya.
Iksan menjelaskan, di berbagai negara, sertifikasi halal dilakukan oleh lembaga yang setara dengan NGO, atau lembaga yang merupakan kuasa negara, atau NGO yang diberikan penguatan oleh negara. Seperti halnya model sertifikasi halal yang selama ini dilakukan oleh MUI.
Berbagai negara telah melakukan sertifikasi halal yang diproses oleh NGO. Misalnya, dilakukan oleh Singapura (MUIS), Thailand (The Central Islamic Comitte of Thailand), Brunei Darussalam (Bahagian Kawalan Makanan Halal). Atau juga Cina (Shanghai Al Amin Consultant Co Ltd), Jepang (The Japan Moslem Association), Korea Selatan (Korean Muslim Foundation), Taiwan (Taiwan Halal Integrity Development Association), Belanda (Halal Quality Control), Belgia (Halal Food Council of Europe), Perancis, Amerika (The Islamic Food and Nutrition Council of America), Selandia Baru (Al Kaussar Halal Food Authority). Semua sertifikasi halal di negara-negara tersebut dilakukan oleh NGO.
“Point penting tersebut diharapkan dapat dijadikan masukan bagi pemerintah dan dunia usaha juga masyarakat dan dunia akademik mengenai pentingnya mandatory sertifikasi halal bagi pelaku usaha dan masyarakat,” katanya.
--