REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Banyak pihak yakin lembaga keuangan mikro syariah dan lembaga formal amil zakat seperti Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) bisa mengelola dana umat Islam secara profesional.
Sampai dengan akhir tahun 2017, dana zakat yang terkumpul di Indonesia baru mencapai Rp 5 triliun, yaitu dua persen dari total potensi yang diperkirakan mampu mencapai Rp 217 triliun.
Namun angka ini masih bisa ditingkatkan lagi, dan dalam konteks pertanian dana ini bisa menjadi pembiayaan alternatif untuk membantu petani. Hal ini disampaikan Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr Arif Satria saat membuka acara Seminar Nasional bertajuk Dana Sosial Islam dan Pemberdayaan Petani, di Auditorium Andi Hakim Nasoetion, Kampus IPB Dramaga, Bogor, Jawa Barat, Senin (30/4).
Seminar ini digelar oleh Departemen Ilmu Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB bekerjasama dengan LAZ Al Azhar.
Lebih lanjut Rektor menyampaikan, petani punya berbagai problem dengan lembaga perbankan. Sistem bank konvensional ini tidak kompatibel dan tidak adaptif untuk petani. Sedangkan kondisi yang ada saat ini, tenaga kerja di sektor pertanian adalah yang terbesar. “Maka lembaga seperti LAZ ini merupakan alternatif untuk memberikan pemberdayaan pada petani,” kata Arif Satria dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Rabu (2/5).
Di beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sudah ada LAZ internal. Maka tugas pemerintahlah yang bisa memaksa lembaga-lembaga ini agar secara otomatis dan mengikat dana zakat terkumpul menjadi satu. “Jika ini dilakukan di seluruh tempat, ini luar biasa,” ujarnya.
Direktur Bisnis dan Manajemen Aset Komersial IPB, Dr Jaenal Efendi menambahkan, Financial Technology (Fintech) yang sedang berkembang saat ini, perlu diberdayakan untuk menunjang pengelolaan dana sosial. Era digital saat ini perlu dimanfaatkan dalam inklusi finansial untuk menjembatani kesenjangan penyaluran pembiayaan. "Dengan demikian, revolusi industri 4.0 akan mampu menciptakan peradaban, mengoptimalisasi apa yang sudah ada, dan menghubungkannya satu sama lain,” ujarnya.
Suasana seminar tentang penggunaan dana zakat untuk bidang pertanian yang digelar di kampus IPB, Bogor.
Sementara itu Edi Fairuzzabadi, deputi Direktur Divisi Riset dan Asesmen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia mengatakan, tingkat kemiskinan di Indonesia ini lumayan tinggi. Dan 49,89 persennya adalah petani.
“Ini bisa menjadi pelecut bagi calon-calon entrepreneur pertanian di IPB. Kemiskinan yang dialami petani ini sungguh memprihatinkan. Padahal sebetulnya ada dana sosial yang cukup besar yang bisa digunakan untuk mengentaskan kemiskinan petani. Harus ada semacam pendampingan,” terangnya.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI, aset wakaf berupa tanah di Indonesia mencapai 4,3 miliar meter persegi. Lahan ini biasanya digunakan untuk pembangunan masjid, sarana pendidikan, pesantren dan kuburan.
Menurutnya ada potensi yang besar pada aset wakaf umat berupa tanah dan uang. Dua instrumen ini punya potensi luar biasa. Namun masih banyak masyarakat yang kurang percaya dengan lembaga pengelola dana zakat.
Diskusi dalam seminar ini diharapkan mampu membuka kesadaran semua stakeholders akan potensi yang bisa dikelola sebaik-baiknya demi kesejahteraan masyarakat terutama petani di masa yang akan datang.
Pada kesempatan ini, Rektor IPB dan Direktur Eksekutif LAZ Al Azhar, Sigit Iko Sugondo menandatangani Memorandum of Understanding (MoU). IPB dan LAZ Al Azhar akan bekerja sama di bidang pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
“Kami butuh sumberdaya manusia yang handal untuk membantu kinerja LAZ Al Azhar dalam hal pendampingan petani,” ujar Sigit.