REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai bangunan berarsitektur Islam paling awal, Qubbat As-Sakhrah telah melewati berbagai zaman. Yakni, zaman Islam, zaman Perang Salib, zaman Mandat Britania, dan zaman pendudukan Israel. Pada masa awal perkembangan Islam, bangunan ini menjadi saksi bisu peristiwa Isra dan Mi'raj yang dialami Nabi Muhammad SAW. Karena, di lokasi berdirinya Qubbat As-Sakhrah terdapat sebuah batu besar yang diyakini umat Islam sebagai tempat Nabi Muhammad SAW berdiri ketika peristiwa Isra dan Mi'raj.
Di zaman Khalifah Umar bin Khattab, bangunan ini menjadi simbol penaklukan Islam terhadap musuh-musuhnya. Ketika kaum Muslimin mengadakan pengepungan terhadap Kota Baitul Maqdis selama empat bulan, penduduk kota itu rela untuk mengadakan perdamaian dengan kaum Muslimin. Mereka juga bersedia menyerahkan kota suci itu dengan syarat kaum Muslimin harus mendatangkan Khalifah Umar bin Khattab untuk menerima kota suci itu. Persyaratan tersebut diajukan langsung oleh penguasa Nasrani kota itu, pendeta Kopernikus.
Untuk memenuhi kehendak rakyat Baitul Maqdis itu, panglima yang ketika itu Abu Ubaidah Ibnul Jarrah, menulis surat kepada Umar dan meminta kehadirannya untuk menerima penyerahan kota itu. Permintaan itu diterima oleh Umar dengan senang hati. Beliau masuk kota suci itu dengan didampingi oleh pendeta Kopernikus. Dalam kesempatan itu, beliau masuk Masjid al-Aqsha dan menunaikan shalat di dalamnya.
Sementara saat terjadinya Perang Salib, bangunan Kubah Batu ini sempat jatuh ke tangan tentara Salib. Oleh Kaisar Augustinian, bangunan Kubah Batu ini kemudian dialihfungsikan menjadi gereja. Namun, ketika pasukan Islam di bawah pimpinan Salahuddin Al-Ayyubi berhasil menaklukkan Yerusalem pada 1187, kompleks Al-Haram asy-Syarif ditetapkan sebagai tempat ibadah kaum Muslimin. Salib di atas Kubah Batu diganti menjadi bulan sabit emas. Sejak saat itu hingga tahun 1917, Kubah Batu berada di dalam genggaman penguasa Muslim.
Pada masa Kesultanan Ottoman (1517-1917), dilakukan sejumlah renovasi terhadap bangunan Kubah Batu ini. Renovasi berskala besar dilakukan semasa pemerintahan Mahmud II tahun 1817. Berdekatan dengan Qubbat As-Sakhrah, Kesultanan Ottoman membangun Kubah Nabi pada 1620.
Setelah gempa melanda wilayah Palestina pada 11 Juli 1927, bangunan ini mengalami kerusakan. Pemerintah Kerajaan Inggris Raya yang kala itu mendapatkan mandat dari Liga Bangsa-Bangsa sebagai penguasa transisi atas wilayah Palestina selama periode 1917 hingga 1948, melakukan berbagai usaha perbaikan terhadap kerusakan yang terdapat pada bangunan Kubah Batu ini. Saat ini, bangunan monumental milik umat Islam tersebut berada di bawah kekuasaan rezim zionis Israel.