REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkembangan peradaban Islam mencapai wilayah Afrika Barat. Sebuah wilayah ternama sebagai pusat peradaban Islam muncul di sana, yaitu Timbuktu. Banyak pula manuskrip yang menjadi peninggalan kaum intelektual Muslim di sana. Di Timbuktu, terdapat hingga ratusan ribu manuskrip.
Manuskrip tersebut berisi tentang hukum Islam, filsafat, pengobatan, astronomi, dan matematika. Ada pula manuskrip Alquran yang berasal dari abad ke-13. Menurut sarjana Islam Jerman, Albrecht Hofheinz, manuskrip-manuskrip ini menjadi bukti bahwa Timbuktu telah menjadi pusat ilmu pengetahun ribuan tahun lalu.
Di sisi lain, Timbuktu juga telah menjadi salah satu hubungan perdagangan. Banyak pedagang yang datang dari berbagai negara yang melakukan perniagaan di sana. Timbuktu juga bersinar karena memiliki sebuah universitas yang menjadi pusat tradisi ilmiah.
Saat itu, banyak mahasiswa yang berdatangan untuk menimba ilmu di Timbuktu. Ada sekitar 25 ribu mahasiswa ditampung di universitas tersebut. Banyak manuskrip yang kini menjadi koleksi pribadi. Ada pula yang disimpan di perpustakaan pemerintah untuk kepentingan publik.
Terkait keberadaan manuskrip di Irak, mulai abad ke-19, orang-orang Eropa mulai tertarik dengan berbagai manuskrip yang terdapat di Timbuktu. Mereka membawa manuskrip dalam jumlah cukup besar untuk dikirim ke Eropa. Tak hanya untuk koleksi publik, tetapi juga koleksi pribadi.
Claudius James Rich yang menjabat sebagai Residen Inggris di Baghdad pada 1808, melakukan perjalanan ekstensif di sebagian besar wilayah di Irak hingga penarikan dirinya pada 1821. Ia berhasil mengumpulkan 1.000 manuskrip dalam bahasa Arab, Persia, Turki, dan Suriah kemudian membawanya ke Inggris.
Setelah kematiannya, naskah-naskah dari Irak tersebut kemudian dibeli oleh British Museum untuk menambah koleksi perpustakaannya, British Library.