Senin 02 Apr 2018 20:15 WIB

Khitan Ada Sejak Zaman Nabi Adam AS

Bangsa-bangsa terdahulu juga melakukan hal yang sama.

Rep: Syahruddin el-Fikri/ Red: Agung Sasongko
 Dua anak duduk didekat tempat khitanan massal seusai di khitan yang diselenggaran dalam HUT ke-56 Bank BJB di Jakarta, Ahad (14/5).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Dua anak duduk didekat tempat khitanan massal seusai di khitan yang diselenggaran dalam HUT ke-56 Bank BJB di Jakarta, Ahad (14/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam sejarah Islam, khitan sudah dikenal sejak zaman Nabi Ibrahim AS. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA oleh Imam Bukhari, Muslim, Baihaqi, dan Imam Ahmad, bahwa Nabi SAW bersabda: Ibrahim Khalil ar-Rahman berkhitan setelah berumur 80 tahun dengan menggunakan kapak.

Namun, ada sejumlah riwayat dan literatur yang menerangkan bahwa khitan ini telah ada sejak zaman Nabi Adam AS. Bahkan, bangsa-bangsa terdahulu juga melakukan hal yang sama.

Mengutip keterangan dari Injil Barnabas, Nabi Adam AS adalah manusia pertama yang berkhitan. Ia melakukannya setelah bertobat kepada Allah dari dosa-dosa yang dilakukannya karena melanggar larangan Allah untuk tidak memakan buah khuldi.

Ketika syariat ini diperintahkan untuk dilaksanakan oleh Nabi Ibrahim AS, dikarenakan pada masa itu banyak keturunan Nabi Adam AS yang telah melupakan syariat tersebut. Karena itu, Nabi Ibrahim AS diperintahkan untuk menghidupkan kembali tradisi yang menjadi fitrah umat manusia itu.

Pada masa Babilonia dan Sumeria Kuno, yakni sekitar tahun 3500 Sebelum Masehi (SM), mereka juga sudah melakukan praktik berkhitan ini. Hal ini diperoleh dari sejumlah prasasti yang berasal dari peradaban bangsa Babilonia dan Sumeria Kuno. Pada prasasti itu, tertulis tentang praktik-praktik berkhitan secara perinci.

Begitu juga pada masa bangsa Mesir Kuno sekitar tahun 2200 SM. Prasasti yang tertulis pada makam Raja Mesir yang bernama Tutankhamun, tertulis praktik berkhitan di kalangan raja-raja (Firaun).

Prasasti tersebut menggambarkan bahwa mereka menggunakan balsam untuk menghilangkan rasa sakit, saat sebagian kulit kemaluan laki-laki dipotong. Tujuan mereka melaksanakan khitan ini adalah untuk kesehatan.

Tak hanya Babilonia, Sumeria, dan Mesir Kuno, orang-orang Yahudi juga mengenal tradisi berkhitan. Mereka menaruh perhatian besar terhadap praktik berkhitan ini. Dalam kitab Talmud--tafsir atas Zabur, yakni kitab yang diturunkan kepada Nabi Daud AS--disebutkan, orang yang tidak berkhitan termasuk dalam golongan orang musyrik yang jahat.

Dalam kepercayaan kaum Nasrani juga demikian. Ajaran agamanya mengajarkan umatnya untuk berkhitan. Dalam Injil atau Kitab Ulangan disebutkan, Bersunatlah (khitan) untuk Tuhan; dan buanglah kotoran hatimu wahai orang-orang Yahuza dan penduduk Orsleim!

Bahkan, banyak teks injil yang menyatakan bahwa berkhitan merupakan suatu hal yang sangat baik. Dalam Injil Barnabas disebutkan bahwa Yesus melakukan sunat (khitan) dan memerintahkan para pengikutnya supaya bersunat. Namun faktanya, banyak orang Kristen yang tidak melaksanakannya.

Bangsa Arab jahiliyah, yakni sebelum datangnya agama Islam, juga sudah terbiasa melakukan khitan. Hal ini dilakukan untuk mengikuti tradisi leluhur mereka, yaitu ajaran Ibrahim AS.

Selanjutnya, ajaran berkhitan yang dicontohkan Nabi Ibrahim tersebut diikuti oleh para Nabi dan Rasul sesudahnya. Mereka juga mengajarkan hal itu kepada umatnya masing-masing.

Pada masa Islam, khitan dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap kedua cucunya, Hasan bin Ali bin Abi Thalib dan Husein bin Ali bin Abi Thalib, pada saat masing-masing baru berusia tujuh hari. Sementara itu, menurut hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dan Ibnu Abdul Bar, Rasulullah SAW telah berkhitan sejak dilahirkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement