Kamis 29 Mar 2018 13:36 WIB

Perjuangan, Pengkhianatan, dan Pengasingan Kerajaan Gowa

Gangguan dari pihak Kompeni membuat geram Kerajaan Gowa

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agung Sasongko
Pasukan pengawal Istana Kerajaan Gowa 'Balla Lompoa'
Foto:

Pergolakan antara Kesultanan Gowa dan aliansi Bugis-Kompeni tidak kunjung berhenti sampai memasuki akhir 1667. Pada 13 November kedua belah pihak menghendaki perjanjian yang lebih mengikat, yakni antara Sultan Hasanuddin dan Kompeni. Lokasi pertemuan ditetapkan di suatu desa bernama Bungaya, sekitar Barombong, hulu Sungai Jeneberang. Oleh karena itu, perjanjian ini lebih dikenal sebagai Perjanjian Bongaya.

Dalam perundingan ini, pihak Gowa diwakili Karaeng Karunrung, sedangkan pihak Kompeni oleh Speelman. Adapun bahasa yang dipakai adalah bahasa Portugis, sehingga mencerminkan netralitas. Awalnya, Speelman mengajukan 30 tuntutan kepada Gowa. Meskipun mayoritasnya merugikan Gowa, Sultan Hasanuddin pada akhirnya menyepakati butir-butir tuntutan itu pada 18 November 1667.

Pertimbangannya, pertempuran antara Gowa dan aliansi Kompeni-Bone telah menimbulkan korban jiwa dan harta yang begitu banyak di tengah rakyat. Perjanjian ini diakhiri dengan pengucapan sumpah berdasarkan agama masing-masing. Sultan Gowa mengucapkannya dengan memegang Alquran, sedangkan Kompeni dengan kitab Injil. Akibat dari Perjanjian Bongaya, Benteng Makassar harus dikosongkan dari orang-orang Gowa.

Selain itu, Sultan Hasanuddin juga mesti menghadapi kekecewaan dari beberapa panglima yang menolak butir-butir tuntutan Kompeni ini. Bahkan, tidak sedikit di antara mereka yang memilih meninggalkan Gowa untuk bergabung dengan kerajaan-kerajaan tetangga yang masih bertekad mengenyahkan Belanda dari nusantara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement