REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak Bani Umayyah berkuasa, mekanisme pergantian kepemimpinan berubah menjadi sistem monarki atau pewarisan kekuasaan berdasarkan jalur nasab. Wasiat seorang raja untuk menunjuk penerusnya dalam mengurus negara memainkan posisi yang penting di situ.
Seperti yang dilakukan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan, misalnya, yang menunjuk putranya sendiri, Yazid, menjadi penggantinya. Menurut catatan, dalam wasiat terakhirnya, Muawiyah juga berpesan kepada Yazid agar berhati-hati dalam memperlakukan Husain (putra Ali bin Thalib)—yang ketika itu juga mendapat dukungan politik dari sebagian kaum Muslimin.
“Berhati-hatilah, wahai anakku. Allah tidak akan ridha jika engkau menumpahkan darahnya (Husain). Jangan sampai engkau termasuk ke dalam golongan orang-orang yang binasa,” demikian wasiat Muawiyah kepada Yazid, seperti dikutip Mahmoud M Ayoub dalam bukunya, Redemptive Suffering in Islam: A Study of the Devotional Aspects of Ashura.
Dalam politik dinasti, faktor usia calon penerus takhta kadang kala tidak menjadi pertimbangan mutlak seorang raja dalam membuat wasiat suksesi kepemimpinan. Hal tersebut seperti yang pernah dilakukan Khalifah Umayyah di Cordoba (Spanyol), al-Hakam II. Sebelum kematiannya, dia menunjuk putranya yang masih berumur 10 tahun, Hisyam II, sebagai penggantinya.
“Meskipun usia Hisyam II masih sangat muda, penasihat setia al-Hakam II, al-Mansur ibnu Abi Amir, tetap mengumumkannya sebagai khalifah yang baru,” ungkap Anwar G Chejne dalam buku Muslim Spain: Its History and Culture.
Wasiat terkait suksesi kepemimpinan juga pernah dilakukan oleh raja-raja Dinasti Abbasiyah. Contoh yang paling jelas adalah wasiat Khalifah Harun ar-Rasyid yang menunjuk putranya, al-Amin, menjadi penggantinya setelah ia wafat. Dalam wasiatnya itu Harun juga berpesan, jika al-Amin meninggal, ia menginginkan jabatan khalifah diteruskan oleh putranya yang lain, yaitu al-Ma'mun.
“Namun, begitu al-Amin berkuasa, dia menunjuk anaknya sendiri, Musa, menjadi penerus takhta kerajaan. Pelanggaran wasiat Harun ar-Rasyid oleh al-Amin itu memicu kemarahan al-Ma'mun, sehingga menyebabkan terjadinya perang saudara sepanjang 811-813 M,” tulis Hugh Kennedy dalam karyanya, The Prophet and the Age of the Caliphates.
Kalangan sejarawan tidak menemukan adanya wasiat khusus dari raja-raja Ottoman terkait pergantian kepemimpinan sejak awal abad ke-14 hingga pertengahan abad ke-17. Menurut Colin Imber, suksesi politik Ottoman selama kurun waktu tersebut cenderung diwarnai oleh perebutan kekuasaan dan pertumpahan darah antarsesama keluarga kerajaan.
“Sejak zaman Sultan Murat I (1362-1389), suksesi kepemimpinan Ottoman diteruskan kepada pangeran yang berhasil mengalahkan dan membunuh saudara laki-lakinya atau orang lain yang menyatakan memiliki hak atas takhta kerajaan,” tulis Imber dalam karyanya, The Ottoman Empire 1300-1650 M.