Rabu 14 Feb 2018 15:59 WIB

Mengenal Khutbah dan Wa’zh

Keduanya merupakan jenis seni berpidato

Ceramah agama Islam (ilustrasi)
Foto: Republika
Ceramah agama Islam (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Dalam sejarah peradaban Islam, pemikiran tentang moral berkembang melalui beberapa tahapan dan memadukan berbagai unsur pemikiran. Dua arus pemikiran penting, yaitu pemikiran moral Persia dan filsafat etika Yunani, telah ikut ambil bagian dalam perkembangannya.

Ajaran keduanya dapat ditemukan dalam literatur peradaban umat Islam. Namun, arus pemikiran yang paling besar pengaruhnya adalah ajaran Islam itu sendiri, terutama yang didukung tradisi tasawuf.

Di antara inovasi-inovasi kaum tradisionalis, selain mazhab fikih, lembaga pendidikan tinggi hukum (fikih), kurikulum yang eksklusif, dan sertifikat kewenangan mengajar, ada satu lagi yang mereka perkenalkan dalam bidang filsafat moral. Hal itu adalah ceramah (wa’zh) untuk menyampaikan wejangan dan nasihat.

Secara umum, seni berpidato di depan umum dibedakan menjadi dua jenis, yaitu khotbah dan wa’zh. Khotbah dilakukan pada Jumat, disampaikan seorang khatib yang diangkat oleh khalifah. Sedangkan wa’zh disampaikan seorang ulama otonom, yaitu ahli hukum Islam, sufi, penghafal Alquran, atau seorang ahli hadis. Penyampaiannya bisa dilakukan di masjid, surau, atau madrasah.

Ceramah atau propaganda semacam ini disampaikan sebagai suatu mata pelajaran. Pada kesempatan lain, itu sebagai nasihat atau teguran kepada pejabat pemerintahan dalam bentuk surat atau disampaikan secara terbuka di hadapan massa.

Berbeda dengan seorang khatib yang diangkat penguasa, status seorang wa’zh tidak ditetapkan penguasa. Pun tidak seperti khatib, seorang penceramah menggunakan pidatonya untuk menegur, memperingatkan, dan mengkritik penguasa.

Wa’zh cukup sulit dibedakan dari qashash (kisah) dan tadzkir (peringatan). Wa’zh disampaikan di forum resmi. Qashash atau ceramah umum disampaikan di jalan perkotaan. Penyampainya disebut qashsh (juru kisah) atau mudzakkir (pemberi peringatan). Kekeliruan penggunaan istilah tersebut diulas Ibn al-Jawzi (597 H/1200 M).

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement