REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Tepat empat tahun sudah Undang-Undang No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) diundangkan. Sejak kelahiranya, diharapkan dapat menjadi 'Umbrella provisions' dari semua Regulasi Halal yang ada sebelumnya.
Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Halal Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah mengatakan, sampai saat ini UU JPH masih belum dirasakan kehadirannya bagi masyarakat. Selain itu, juga belum memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tumbuhnya dunia industri dan percepatan industri halal. Bahkan, realitanya sangat jauh dari yang diharapkan.
"Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang telah diresmikan pada 10 Oktober 2017 yang lalu, namun belum dapat berfungsi sebagamana mestinya sesuai yang dimandatkan UUJPH, karena terkendala oleh berbagai hal," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Jakarta, Ahad (14/1).
Menurutnya, BPJPH menghadapi tantangan yang berat dalam menjalankan tugas sebagaimana layaknya sebuah lembaga baru yang memerlukan waktu untuk menata organisasi dan konsolidasi.
"Hingga saat ini BPJPH belum siap untuk menerima dan melayani permohonan sertifikasi halal. Ketidaksiapan ini karena berbagai kendala yang belum kunjung juga bisa terurai, antara lain belum ada satupun Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang lahir dan mendapatkan akreditasi dari BPJPH dan MUI," ungkapnya.
Sebagaimana ketentuan UU JPH syarat terbentuknya sebuah LPH harus terlebih dahulu memiliki Auditor Halal yang telah memperoleh sertifikasi Majelis Ulama Indonesia sesuai Pasal 14 Ayat 1 huruf h. "Sampai saat ini kenyataanya belum ada satupun LPH yg mengajukan akreditasi ke BPJPH dan MUI. Sekaligus belum dapat merumuskan secara bersama mengenai standar akreditasi untuk LPH," ucapnya.
Kemudian, permasalahan ego sektoral pada tingkat kementrian menyebabkan masih belum maksimalnya kordinasi lintas kementerian dalam rangka mempercepat lahirnya Peraturan Pelaksana Undang-Undang No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH).
Sebagai contoh sikap Kementrian Kesehatan yang ingin menunda pelaksanaan UUJPH atau setidaknya menginginksn agar industri obat dan vaksin dikecualikan agar diberikan kelonggaran waktu yg tidak terhingga "Sangat diperlukan hubungan yang harmonis dan kerja sama yang saling menguatkan antara kedua lembaga yang diberikan mandat oleh UU JPH, yakni BPJPH dan MUI," ujarnya.
Tak hanya itu, diperlukan membentuk Lembaga Pemeriksa Halal dan sertifikasi auditor halal yang selanjutnya dilakukan sertifikasi dan akreditasi oleh BPJPH dan MUI. "Ketentuan mengenai tarif dan biaya Sertifikasi Halal hingga saat ini menjadi problem yang belum bisa terurai, karena lapasitas BPJPH yang otorisasinya di bawah Kementrian Agama tidak dapat mengenakan tarif biaya Sertifikasi, akan tetapi harus dilakukan oleh Kementrian Keuangan," ungkapnya.
Demikian pula mengenai Sistem Pendaftaran Sertifikasi Halal sampai saat ini BPJPH belum dapat membangun sistem pendaftaran yang berbasis online yang dapat memudahkan masyarakat yang akan mendaftarkan permohonan sertifikasi halal yang tentu saja harus konekting dengan LPH. Belum lagi terkait dengan permasalahan Logo Sertifikat Halal.
"Hal yang sangat rumit, karena berkaitan dengan kepercayaan publik kita semua maklum. Masyarakat dan Umat Islam sudah mempercayai logo halal MUI dengan simbol-simbolnya yang sudah melekat dan masyarakat sangat tidak mudah bila harus digantikan dengan logo yang lain. Ini karena berkaitan dengan image dan keyakinan dan kepercayaan umat kepada MUI karena bila kepercayaan masyarakat goyah akan berakibat serius bagi dunia industri dan keberlangsungan pertumbuhan ekonomi," ungkapnya.
Untuk itu, dia menyarankan, agar dunia usaha tidak dirugikan dan tetap berjalan dengan memperoleh sertifikasi halal atas produk-produknya. Maka, ketentuan Pasal 59 dan 60 Undang-Undang No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal mengenai ketentuan peralihan agar tetap menjadi landasan, yaitu LPPOM MUI tetap menjalankan kewenanganya melakukan sertifikasi halal.