REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam tradisi keilmuan klasik, penggunaan gelar dan julukan berkembang di kalangan cendekiawan. Beberapa gelar di sematkan ke sejumlah tokoh sebagai bentuk penghormatan atas kapasitas keilmuwan seseorang. Misalnya, syaikhul Islam, mujaddid az zaman,dan sebutan lainnya. Di antara julukan yang masyhur dipakai adalah hujjatul Islam. Istilah tersebut berasal dari bahasa Arab yang terdiri atas dua kata, hujjah dan Islam. Penggabungan dua kata itu, mengutip Ensiklopedi Islam, diartikan dengan ‘pembela Islam’.
Gelar tersebut diberikan kepada para ulama yang berjasa mempertahankan prinsip-prinsip kebenaran Islam dengan argumen yang sulit dipatahkan oleh lawan. Sesuai kata yang dipakai maka ulama yang diberi gelar itu berhasil bertindak sebagai penyanggah dari serangan-serangan yang ingin me rancukan ajaran Islam.
Penyerang yang dimaksud tak hanya datang dari pihak luar Islam, tetapi juga serangan yang muncul di internal Islam. Bila musuh datang dari dalam, biasanya mereka hendak menebarkan syirik, khurafat, dan takhayul atau pemahaman, serta tindakan yang berten tangan dengan kemurnian Islam.
Sepanjang sejarah Islam, terdapat dua nama yang mendapat gelar mulia ini, yaitu Abu Hamid al-Ghazali dan Taqiyyuddin Ibn Taimiyyah. Penyematan gelar kepada kedua tokoh itu bukan tanpa alasan kuat. Al Ghazali dikenal dengan pembelaannya yang mengagum kan terhadap Islam, terutama menyodorkan argumennya yang mematahkan ideologi kelompok Batiniah, salah satu sempalan dari Syiah.
Pemikiran al-Ghazali itu di abadikan di bukunya yang ber jdul Fadhaih Albathiniyyah ( Kekeliruan Batiniah). Ia tidak saja mengajukan argumentasi dari teks agama, tetapi juga mengemukakan argumen logika yang konsepsional, sistematis, dan memiliki muatan ilmiah yang berbobot. Bangunan pemikiran kokoh sosok yang wafat pada 555 H/1111 M itu tampak pula saat melakukan sanggahan atas gagasan para filsuf. Ada tiga hal yang digarisbawahi al- Ghazali, yaitu anggapan alam itu qadim, pembangkitan di akhirat hanya berupa rohani, dan pendapat mereka bahwa Allah tak mengetahui hal parsial juz’iyyat. Kekuatan sanggahan itu terekam dalam bukunya yang terkenal, yaitu Tahafut Al Falasifah.
Sedangkan, gelar hujjatul Islam identik pula dengan Ibnu Taimiyah. Pada 1299 M, ia pernah terlibat polemik teologis dan sufistis dengan orang yang berseberangan pandangan. Oleh lawannya, ia dituduh sebagai seorang mujassim, percaya bahwa Allah SWT memiliki bentuk fisik layaknya manusia. Sang gahannya itu terdokumentasikan secara apik di buku yang diberi nama Risalah al-Hamawiyah.
Berbeda konteks, kata hujjahjuga banyak dipakai sepanjang sejarah. Selain berarti argumen, kata hujjahjuga digunakan sebagai nama sebuah kelompok. Di Iran, terdapat sekte yang berjuluk Hujjatiyah. Sebuah mazhab pemi kir an religius konservatif dalam Syiah.
Berdiri pada awal 1950-an, seperti dikutip dari Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, pendiri awal Syekh Mahmud Halabi ber asal dari kalangan tradisional dan konservatif, demikian pula dengan para pengikutnya. Kelompok yang mulanya terkenal dengan sebutan Masyarakat Hujatiyah di Masyhad Iran itu, tersohor luas anti-Bahai. Sepanjang eksistensi nya di Iran, Hujjatiyah gencar melakukan ‘serangan’ terhadap Bahai.
Aktivitas ini menyebabkan intimidasi atas kaum Bahai di berbagai wilayah, seperti di Syiraz, Isfahan, Yazd, dan Ka syan. Hujjatiyah juga melakukan tekan an ke pemerintah agar mempersulit gerak-gerik mereka memiliki keterkait an dengan Bahai. Namun, seiring perjalanannya, terutama pascarevolusi Islam, pamor Hujjatiyah menurun. Pada musim panas 1983, muncul kampanye publik menentang Hujjatiyah. Sejak itu, keberadaan Hujjatiyah telah di abaikan.