Ahad 24 Dec 2017 01:01 WIB

Dilema Donasi Organ Tubuh di Negara Muslim

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Agus Yulianto
Cangkok organ tubuh (ilustrasi).
Foto: meetdoctor.com
Cangkok organ tubuh (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Islam memandang kehidupan sebagai hal yang sakral dan tubuh manusia tidak dapat diganggu gugat. Dalam Al quran surat Al Maidah, ayat 32, tertulis, bahwa "Barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan semua manusia."

Hidup atau mati, tubuh manusia adalah milih Tuhan dan tidak ada yang bisa memutilasinya atau mengeluarkan organ apapun untuk keuntungan komersial. Dengan dikotomi ini, akademisi Islam telah banyak membahas soal larangan dan persyaratan agama yang diperlukan untuk melakukan transplantasi organ untuk menyelamatkan nyawa.

Profesor Aziz El-Matri, seorang spesialis ginjal dari Tunisia dan anggota The Transplantation Society, membahas isu tersebut dalam sebuah wawancara dengan organisasi mitra The New Arab, seperti dilansir dari Al Araby. El-Matri juga merupakan presiden dan pendiri Masyarakat Tunisia untuk Telemedika.

Dari petikan wawancara itu, Aziz El-Matri mengatakan bahwa Islam memandang tubuh manusia untuk disucikan. Tubuh merupakan properti yang tidak dapat dicabut atau dipindahtangankan. Menurutnya, seorang Muslim terikat kewajiban untuk menjaga integritasnya. Namun, ada juga kewajiban untuk melestarikan kehidupan. Meskipun, itu berarti melanggar batasan tertentu.

Dengan demikian, kata dia, prinsip kebutuhan lebih diutamakan daripada larangan. Hal ini menjadi masalah konsenses di antara para ahli hukum Muslim. Apapun persuasinya, transplantasi organ harus diizinkan.

Fatwa pertama diumumkan oleh Mufti Agung Kuwait pada 1979. Hal ini dianggap permisif untuk dijadikan sebagai sebuah model bagi para ilmuwan di negara-negara lain di kawasan ini. Fatwa tersebut diikuti dengan keputusan konsensus yang diambil pada pertemuan Dewan Ilmiah pada Akademi Fiqih Islam di Jeddah pada Agustus 1988.

Sejak saat itu, beberapa ahli hukum telah mengeluarkan fatwa untuk mengizinkan transplantasi organ. Hal itu didasarkan pada gagasan berupa sumbangan sukarena dan bukan komersialisasi bagian tubuh. Namun, ada ketidaksepakatan mengenai pemindahan organ dari donor kadaver. Meskipun, keputusan Dewan Juris Internasional mengakui kenyataan adanya mati otak (brain death).

Akibatnya, apapun surat dari undang-undang itu, sangat sedikit negara-negara Muslim yang mentolelir transplantasi ginjal dari donor yang telah meninggal. Hal itu dengan pengecualian negara-negara seperti Arab Saudi, Yordania, dan Tunisia.

El-Matri kemudian menjawab soal perdagangan organ manusia dan bagaimana jika donor ditemukan di luar lingkaran keluarga. Ia mengatakan, penyakit ginjal kronis, yang sering menyebabkan gagal ginjal stadium akhir, semakin sering terjadi di berbagai belahan dunia. Sehingga, ada kebutuhan untuk tranplantasi ginjal yang lebih banyak. Karena tidak ada cukup organ yang tersedia.

Badan internasional menganggap bahwa jumlah organ (ginjal) yang ditawarkan dunia hanya mewakili 10 persen dari kebutuhan sebenarnya. Ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan yang membawa perkembangan pada perdagangan organ manusia.

Di negara-negara di mana tidak ada hukum yang tersedia atau tidak ditegakkan, populasi miskin telah menjadi reservoir organ yang potensial. Untuk mengatasi kecenderungan ini dan memerangi komersialisasi, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan prinsip panduan, yang telah beberapa kali direvisi.

Sebuah komite internasional menyusun sebuah kode etik yang mengarah pada Deklarasi Amsterdam pada Februari 2004 dan Deklarasi Lisbon pada 2006. Selanjutnya, pada Mei 2008, WHO bergabung dengan dua badan ilmiah internasional, The Transplantation Society (TTS) dan International Society of Nephrology (ISN) untuk mengorganisir sebuah pertemuan perwakilan 78 negara di Istanbul, Turki.

Dari pertemuan tersebut, muncul Deklarasi Istanbul tentang Perdagangan Organ dan Transplantasi Pariwisata, yang menyatakan bahwa praktik-praktik ini melanggar prinsip persamaan, keadilan dan penghormatan terhadap martabat manusia dan harus dilarang. Di wilayah Arab, perdagangan organ secara agama dilarang dan secara resmi dilarang di semua negara Arab-Muslim. Namun, kenyataannya adalah masalah yang berbeda.

Beberapa negara mentolerir perdagangan ilegal secara terang-terangan. Sementara yang lainnya telah memperkenalkan langkah-langkah yang memungkinkan tingkat fleksibilitas. Di Iran dan Arab Saudi, undang-undang tersebut mengizinkan pemberian hadiah legal bagi donor ginjal yang hidup, yang membahayakan prinsip donatur non-bayar.

Di Arab Saudi, seseorang diperbolehkan memberi keuntungan berupa uang atau uang tunai kepada donor yang masih hidup atau keluarga dari almarhum donor. Seringkali donatur itu adalah orang asing yang tinggal di negara tersebut.

Hadiah tersebut bisa berupa pembayaran langsung atau tidak langsung untuk transportasi dan penguburan sisa-sisa korban donor atau remunerasi anggota keluarga, ditambah kompensasi uang tunai tertentu.

Di Iran, donor hidup yang tidak terkait dengan penerima dianggap sebagai dermawan oleh masyarakat luas dan secara resmi diberi kompensasi oleh Negara (jumlahnya tetap dan umum). Selain itu, keluarga penerima atau asosiasi yang mendukungnya diperbolehkan memberikan kontribusi "penghargaan" yang dinegosiasikan antar para pihak tersebut.

Menurut El-matry, sistem itu memungkinkan adanya setiap jenis pelecehan. Walaupun tidak dapat disangkal, bahwa sejak ditetapkan, jumlah donor sukarela telah meningkat secara signifikan. Sehingga, memungkinkan untuk mengobati patologi lebih cepat.

Berbeda dengan negara-negara lain di mana ada daftar tunggu yang panjang untuk pasien penerima, Iran memiliki daftar tunggu donor. Ukuran pragmatis itu memiliki keuntungan dari masalah kekurangan ginjal kronis di negara dengan keterbatasan sarana. Namun itu menimbulkan masalah etika dan dilema nyata bagi profesional kesehatan.

Israel adalah negara lain di kawasan yang telah lama menoleransi perdagangan transplantasi. Setelah kunjungan Presiden Mesir Anwar El-Sadat pada November 1977, pejabat Israel memanfaatkan pembukaan hubungan diplomatik dengan Mesir. Sementara itu, tidak adanya undang-undang yang jelas untuk memungkinkan warga negara mereka menerima transplantasi ginjal yang dibeli dari donor asing yang tidak terkait, seperti orang-orang miskin penghuni negara tetangga.

Tampaknya operasi tersebut diganti oleh perusahaan asuransi kesehatan swasta dan terkadang oleh sistem publik. Pejabat yang bertanggung jawab atas Deklarasi Istanbul mengirim sebuah catatan peringatan kepada pihak berwenang Israel. Pada saat yang sama, terutama di Mesir, masyarakat sipil telah mengorganisir demonstrasi jalanan yang memprotes 'sumbangan' organ kepada orang asing.

El-Matri kemudian membahas soal apakah sumbangan organ terorganisir di dunia Arab saat ini. Ia mengatakan, sebagian besar negara Arab sekarang memiliki program transplantasi ginjal yang berfungsi di dalam sistem rumah sakit umum, kadang-kadang di sektor swasta. Seperti yang terjadi di Mesir, Yordania dan Lebanon.

Sepengetahuannya, tidak ada lagi perdagangan organ di negara-negara tersebut daripada di wilayah lainnya. Namun, tingkat transplantasi, dalam skenario terbaik, sekitar sepuluh transplantasi untuk satu juta penduduk per tahun. Angka itu jauh di bawah jumlah pasien dalam daftar tunggu.

Jumlah kasus baru yang sebenarnya adalah sekitar 1000 per juta penduduk. Iran adalah satu-satunya negara dengan sebuah program yang disesuaikan dengan situasi dan sarana yang ada untuk memungkinkan perawatan segera setelah kegagalan tahap akhir terjadi. Tidak ada negara Arab yang menerapkan strategi transplantasi organ jangka panjang.

El-Matri memaparkan, Nefrologi, pengobatan penyakit ginjal, adalah ciptaan yang relatif baru. Menurutnya, Nefrologi tidak menjadi independen terhadap kesehatan atau obat dalam hingga 1960an, saat spesilis Eropa pertama dilatih.

Secara pribadi, ia berada di kelas 3 untuk lulus dari pusat studi nephrological di Prancis. El-Matri kembali ke Tunisia pada 1975, saat itu ia bergabung dengan klinik pengobatan internal. Ia berkembang dengan rekan-rekan teknik lain yang baru dalam nefrologi.

Sementara itu, transplantasi ginjal pertama dilakukan di Amerika Serikat. Kemudian disusul di Prancis pada 1954. Sedangkan Tunisia, seperti halnya Maroko dan Aljazair, mampu memulainya pada 1986.

Tim Urologi dan nephrological melakukan transplantasi pertama dari donor terkait, dan satu lagi dari donor kadaver. Pada saat itu tidak ada hukum eksplisit. Mereka mengambil referensi dari keputusan legislatif skematik yang berasal dari 1952, yang mengesahkan pemindahan organ untuk tujuan diagnostik atau terapeutik sehubungan dengan transplantasi kornea.

Keputusan itu cukup samar untuk ditafsirkan secara bebas. Tidak lama kemudian, pada 1991, sebuah undang-undang khusus disahkan untuk pemindahan dan transplantasi organ dari donor sukarela, donor terkait atau yang tidak terkait, atau almarhum.

Awalnya tim medico-bedah mereka membatasi diri untuk melakukan pemindahan dari donor yang hidup yang secara biologis terkait dengan penerimanya. Namun setelah Februari 2000, pemindahan organ diperluas kepada orang-orang yang secara emosional berhubungan, dengan kata lain, kepada suami dan istri pasien.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement