REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA —Sampai abad ketujuh, setidaknya ada tiga peristiwa besar yang berlangsung di Yerusalem. Pertama, serbuan tentara Persia (Sasanid) pada 614 yang berakibat pembantaian atas 60 ribu orang Kristen di Yerusalem. Lebih dari 30 ribu orang Kristen lainnya dibawa ke Persia untuk menjadi budak. Bangunan peribadatan Kristen di Yerusalem pun ikut diluluhlantakkan.
Kedua, Kaisar Romawi Timur Heraclius kembali menguasai Yerusalem pada 629. Kali ini orang-orang Yahudi menjadi sasaran untuk dibunuh. Sementara itu, Heraclius juga memulihkan kembali hegemoni Dunia Kristen atas Yerusalem sepeninggalan kekuatan Persia di sana. Saat dua peristiwa besar itu berlangsung, Islam mulai mengukuhkan pengaruhnya di Semenanjung Arab, khususnya setelah Penaklukan Makkah terjadi pada 630.
Ketiga, pembebasan Yerusalem oleh umat Islam di bawah kepemimpinan Umar bin Khattab. Pada masa khalifah kedua itu, baik kekaisaran Persia maupun Romawi Timur sedang mengalami degradasi.
Sementara, umat Islam sedang bersemangat menyebarkan ajaran Rasulullah SAW ke luar Arab, antara lain, dengan jalan penaklukan. Pada 20 Agustus 636, tentara Muslim menang melawan pasukan Romawi Timur di Perang Yarmuk. Pada Juli 637, kaum Muslim berhasil mengepung Yerusalem.
Seperti digambarkan Karen Armstrong dalam bukunya, Jerusalem: One City Three Faiths, Khalifah Umar mendengar kabar tentang sikap keras pemuka Kristen Yerusalem, Sophronius. Dia menginginkan agar kunci gerbang Yerusalem diserahkan kepada Umar langsung, alih-alih pemimpin militer lapangan. Maka, datanglah Khalifah Umar ke sana, sedangkan Sophronius dan bawahannya telah menyiapkan gelaran upacara yang terkesan mewah demi menghormati Umar.
Begitu melihat kedatangan Umar, Sophronius dan kaum Kristen setempat terheran-heran. Pasalnya, sang khalifah tampil dengan busana yang biasa dikenakannya di Madinah: baju dengan bahan kain kasar, selayaknya rakyat miskin. Bagi Karen, agaknya para pemuka Kristen Yerusalem merasa tersentuh, betapa pemimpin Muslim itu lebih menghayati ajaran Yesus tentang empati kepada kaum papa ketimbang mereka.
Umar juga menunjukkan pentingnya gagasan welas asih lebih dari siapa pun penakluk Yerusalem sebelumnya, mungkin selain Nabi Daud. Dia (Umar bin Khaththab)menerapkan penaklukan yang paling damai dan paling tanpa pertumpahan darah sepanjang sejarah panjang kota itu (Yerusalem)yang penuh kesedihan dan tragedi, tulis Karen Armstrong lagi.
Khalifah Umar juga menolak berdoa (shalat) di dalam gereja. Alasannya disampaikan kepada Sophronius. Umar tidak ingin gereja itu kemudian diubah oleh tentara Muslim menjadi masjid hanya karena pemimpinnya pernah berdoa di sana.
Umar juga peka terhadap kaum Yahudi.
Sejarah mencatat, selama kuatnya dominasi Romawi Timur di Yerusalem, kaum Kristen setempat menjadikan sisa bangunan Kuil Kedua yang dihancurkan Persia sebagai tempat sampah. Ini tentunya menyakiti perasaan kaum Yahudi.
Begitu melihat penampakan bangunan itu, Khalifah Umar untuk sesaat terkejut.
Namun, seperti dituturkan sejarawan Mujirudin, Umar kemudian mengambil beberapa batu yang menimbun bekas Kuil Kedua itu. Tindakan Umar ini segera diikuti seluruh pasukan Muslim.
Beberapa saat kemudian, situs tersebut tampak lebih bersih dari semula. Umar, sebagaimana seluruh kaum Muslim pada saat itu, memahami benar signifikansi Yerusalem bagi tiga umat yang mengakui kenabian Ibrahim AS. Hanya saja, berbeda daripada penguasa Kristen maupun Yahudi yang saling mendiskreditkan satu sama lain, Khalifah Umar berupaya menjadikan Yerusalem sebagai rumah yang terbuka untuk kaum Muslim, kaum Kristen, dan kaum Yahudi.
Khalifah Umar selanjutnya memanggil Kaab bin Ahbar, seorang Muslim yang dahulunya beragama Yahudi untuk dimintai pendapatnya. Sahabat Nabi SAW bergelar al-Faruq ini ingin memastikan lokasi situs- situs di Yerusalem yang bersejarah dalam perspektif Yahudi