REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia, Hamid Abidin mengatakan, sumbangan dari perusahaan di Indonesia mencapai Rp 12,45 triliun atau rata-rata Rp 1,04 triliun per bulan. Sayangnya, potensi tersebut masih belum dimobilisasi secara maksimal oleh lembaga sosial yang ada di Indonesia.
"Selama ini pendekatan lembaga-lembaga sosial ke perusahaan belum dilakukan dengan cukup baik, misalnya tawaran kemitraannya belum cocok," kata Hamid kepada Republika.co.id, Rabu (1/11).
Menurutnya, lembaga-lembaga sosial masih banyak yang melakukan pendekatan ke perusahaan dengan cara meminta dana. Padahal banyak sekali bentuk-bentuk kemitraan yang bisa dilakukan antara lembaga sosial dengan perusahaan.
Dikatakan Hamid, pemahaman tentang Corporate social responsibility (CSR) juga belum dipahami dengan benar. CSR sebenarnya strategi bisnis perusahaan, maka kalau mau memakai pendekatan CSR seharusnya dikaitkan dengan strategi bisnis. Melakukan pendekatan yang sama-sama menguntungkan lembaga sosial dan perusahaan yang memberikan CSR.
"Selama ini ada kesalahan, melihat perusahaan sebagai lembaga sosial, padahal mereka perusahaan, mereka mencari untung," ujarnya.
Sebagai contohnya, bentuk kemitraan yang saling menguntungkan. Bisa dikaitkan dengan core bisnis perusahaan, strategi bisnis dan upaya perusahaan mengatasi dampak operasional. Misalnya menawarkan kemitraan ke sebuah perusahaan untuk mengatasi masalah sampah dari produk perusahaan tersebut.
Jadi, ada yang datang dengan menawarkan bagaimana mengatasi persoalan sampah dengan teknologi yang tepat guna ke perusahaan. Maka, akan lebih menarik bagi perusahaan dibanding datang untuk minta sedekah. Contoh lainnya, lembaga sosial mendatangi bank untuk kerja sama membuat program wirausaha. Bagi bank tawaran ini lebih menarik dibanding datang ke bank meminta dana untuk santunan.
Selain itu, menurut Hamid, alokasi sumbangan lembaga sosial juga masih terfokus ke program kedaruratan atau kebencanaan, keagamaan, penyantunan dan pelayanan sosial. "Sekarang kita semua termasuk Baznas dan LAZ menghadapi persoalan kekinian, persoalan yang harus dihadapi karena itu menimpa dan berdampak terhadap umat Islam," ujarnya.
Misalnya, dia mencontohkan, ada buruh asal Indonesia yang terlunta-lunta di luar negeri. Dana ZIS seharusnya bisa digunakan untuk menolong buruh tersebut. Contoh lainnya, persoalan lingkungan. Misalnya di suatu daerah terjadi kelangkaan air. Dampaknya banyak warga yang kesulitan melakukan wudhu. Bisa juga dana ZIS digunakan untuk membantu mereka. "Seharusnya dana ZIS bisa masuk ke sana karena itu kepentingan masyarakat umum, kepentingan Muslim," ujarnya.