REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menangis karena Allah juga menjadi sebab seseorang selamat di hari pembalasan. Saat kiamat tiba, tak ada urusan nasab, tak ada perkara saudara. Masing-masing memikirkan urusannya pada hari itu. Dunia dihancurkan, mahkamah Allah siap mengadili tindakan sebesar zarah.
Namun di hari yang amat berat itu, Allah memberikan naungan hanya kepada tujuh golongan saja. Salah satunya hamba Allah yang senantiasa menangis karena Allah.
Wahai para lelaki, menangislah. Menangislah seperti Umar bin Khattab RA. Ia seorang pejuang yang gagah. Segala sifat maskulin terkumpul padanya. Namun di balik kokohnya sosok Umar, ia adalah pribadi yang lembut.
Umar kerap menangis jika ada hal yang menurutnya salah. Ia menggendong sendiri makanan untuk seorang ibu sembari menangis. Takut jika urusan kaum Muslimin yang dibebankan padanya tak dilaksanakan dengan amanah. Perkatannya amat mahsyur, "hisablah dirimu sebelum dihisab oleh Allah SWT."
Wahai para perempuan menangislah. Menangislah seperti Rabiatul Adawiyah. Ia benar-benar hanya mengharapkan cinta dari Allah SWT bukan dari yang lain. Kecintaannya kepada Allah SWT amatlah tulus, tanpa pretensi. Menangislah dengan alasan yang tepat bukan karena keinginan di dunia tak dapat dierat.
Wahai manusia, menangislah. Orang-orang saleh menjadikan tangisan sebagai sebuah kebutuhan. Ibnu Umar lebih memilih menangis karena takut pada Allah dibandingkan berinfak seribu dinar.
Ka'ab al-Ahbar berkata, mengalirnya air mata hingga membasahi pipi karena takut kepada Allah lebih ia sukai dibanding berinfak emas sebesar tubuhnya.
Menangislah seperti sahabat setelah mendengar sabda Rasulullah SAW, "Surga dan neraka ditampakkan kepadaku, maka aku tidak melihat kebaikan dan keburukan seperti hari ini. Seandainya kamu mengetahui apa yang aku ketahui, kamu benar-benar akan sedikit tertawa dan banyak menangis". (HR Muslim).
Disarikan dari Dialog Jumat Republika