Rabu 25 Oct 2017 17:31 WIB

Ujian Konsistensi

Keimanan/Ilustrasi
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Keimanan/Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Konsistensi bisa juga berupa ujian keimanan. Apakah benar orang yang mengaku beriman itu hanya mendeklarasikan iman dalam suara saja atau juga konsisten dalam perilaku? Allah SWT berfirman, "Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, 'Kami telah beriman,' dan mereka tidak diuji? Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta." (QS al-Ankabut [29] 2-3).

Konsistensi menjadi ujian. Seseorang harus melewatinya guna lulus menjadi seorang mukmin sejati. Bukan yang di dalamnya terdapat tanda-tanda orang nifak. Yaitu, jika dipercaya, ia khianat dan jika berbicara, ia dusta. 

Kesetiaan orang beriman hanya kepada nilai-nilai yang Allah SWT turunkan. Memegang prinsip itu di dalam kehidupan modern yang mengangungkan kebebasan memang tak mudah. Inilah letak ujiannya. Beberapa orang alim mengatakan, surga itu dikelilingi hal yang sukar. Sementara, neraka dikelilingi hal yang enak nan melenakan.

Seorang mukmin harus memperjuangkan keyakinannya dalam wujud konsitensi. Harus mujahidun linafsihi. Bermujahadah dengan mengalahkan hawa nafsunya. Sekaligus, menempatkan apa yang Allah SWT dan Rasul-Nya kehendaki.

Seorang mukmin yang total meletakkan kecintaannya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya dalam kecintaan tertinggi. Umar bin Khattab RA pernah ditegur Nabi SAW. Kala itu, Umar RA mengatakan, ia mencintai Rasulullah setelah ia mencintai dirinya sendiri. "Bukan begitu, ya Umar, aku mencintai Rasulullah SAW di atas kecintaanku pada diriku sendiri," begitu lisan mulia Nabi Muhammad SAW meluruskan makna hierarki kecintaan yang benar.

Konsistensi juga diiringi pemahaman. Idealisme yang kuat berakar dari kepahaman yang kokoh. Istiqamah menjalani prinsip Islam disandarkan pada pemahaman akidah yang benar dan tuntas. Lewat pehamaham yang benar itu, seseorang tak akan rela menggadaikan prinsip hanya demi segepok dinar atau bahkan seutas janji-janji.

Seperti yang dilakukan Ibnu Sirin. Mendengar kritikan pedas namun jujur dari Ibnu Sirin, sang penguasa justru tak marah. Ia menghargai benar konsistensi dari ucapan seorang Ibnu Sirin. Maka, ia menyuruh pengawalnya menyerahkan satu kotak berisi 3.000 dinar sebagai hadiah untuk Ibnu Sirin. 

Namun, Ibnu Sirin menolak pemberian tersebut dan mengembalikannya. Keponakannya kembali gusar. Ia takut penolakan Ibnu Sirin akan melukai hati sang penguasa. "Wahai keponakannya, sungguh ia memberi karena ia mengira ada kebaikan dalam diriku. Jika aku termasuk orang baik yang ia sangka maka aku sungguh tak pantas menerima dinar itu. Jika aku tak sesuai persangkaannya maka aku lebih tak berhak menerimanya."

Bagi Ibnu Sirin, harga konsistensi amatlah mahal. Ia jauh lebih mahal dibanding 3.000 dinar. Lalu, berapa harga konsistensi kita? 

Disarikan dari Dialog Jumat Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement