Jumat 11 Aug 2017 16:01 WIB

Standar Kehalalan Produk Kosmetik

Rep: Rahmat Fajar/ Red: Agung Sasongko
Alas bedak/ilustrasi
Foto: shesaidbeauty.com
Alas bedak/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Produk kosmetika terus mengalami perkembangan yang pesat. Beragam merek kosmetika terus bermunculan dan semakin digemari oleh masyarakat. Produk ini pun menjadi kebutuhan masyarakat dewasa ini.

Dengan beragamnya produk kosmetik, kehalalan produk tersebut penting untuk menjadi bahan pertanyaan. Hal tersebut agar konsumen di Indonesia yang mayoritas beragama Islam juga terjamin haknya mendapatkan barang yang halal digunakan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengkaji dan membuat fatwa tentang standar kehalalan produk kosmetika dan penggunaannya. Berbagai sumber dirujuk guna menguatkan fatwa yang dikeluarkan. Contohnya, yakni ayat Alquran surah al- Ahzabb (33) yang berbunyi "Dan, hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias (bertabarruj) dan bertingkah laku seperti orangorang Jahiliyah". Ayat ini menjelaskan perintah untuk berhias dan larangan berhias yang menyerupai Jahiliyah.

Kemudian, surah al-Baqarah (2):29 "Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu". Ayat ini menjelaskan manfaat ciptaan Allah secara umum untuk kepentingan manusia. MUI juga merujuk kepada Alquran yang menjelaskan keharusan manusia mengonsumsi yang halal. Seperti dalam surah al-Baqarah (2):168 "Hai sekalian manusia! Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu."

Termasuk ayat-ayat Alquran yang mengharamkan manusia mengonsumsi beberapa jenis makanan. Di antaranya surah al-Baqarah (2): 173 "Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Akan tetapi, barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang,".

MUI juga merujuk kepada beberapa hadis nabi Muhammad SAW dalam fatwanya. Di antaranya tentang dorongan untuk berhias dan menjaga kebersihan diri. Seperti dari Ibn 'Abbas ra bahwa Nabi SAW bersabda "Pakailah celak dengan menggunakan itsmid karena ia dapat memperjelas pandangan dan menumbuhkan rambut." (HR al-Turmudzi).

Selanjutnya, MUI juga merujuk kepada hadis nabi yang menegaskan adanya larangan beberapa jenis aktivitas berhias di antaranya dari Abdullah ibn Ma'ud ra. Ia berkata: Allah SWT melaknat orangorang perempuan yang membuat tato, memen dek kan rambut, serta yang berupaya merenggangkan gigi supaya kelihatan bagus, yang mengubah ciptaan Allah." (HR al-Bukhari).

Beberapa kaidah fikih juga tidak luput dari rujukan yang diambil oleh MUI. Misalnya, yang berbunyi "Hukum asal sesuatu yang bermanfaat adalah boleh dan hukum asal sesuatu yang berbahaya adalah haram." Kaidah lainnya, yaitu "(Hukum) segala sesuatu tergantung kepada tujuannya". Dari rujukan di atas dan beberapa fatwa se belumnya, MUI menyimpulkan, penggunaan kosmetika untuk kepentingan berhias boleh dengan syarat barang yang digunakan halal dan suci.

Kemudian, tidak berbahaya dan ditujukan untuk kepentingan yang diperbolehkan secara syar'i. Penggunaan kosmetika dalam atau yang masuk ke dalam tubuh dengan bahan yang haram dan najis hukumnya haram. Sedangkan, penggunaan kosmetika luar dengan bahan najis selain babi diperbolehkan dengan syarat disucikan terlebih dahulu. Secara keseluruhan, MUI mengeluarkan de lapan keputusan hukum terkait kosmetika dan penggunaannya. MUI berharap keputusan yang dikeluarkan MUI bisa dijadikan pedoman oleh masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement