REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Begitu bebas dan kembali ke Tanah Airnya, Garaudy lebih tekun mempelajari Islam. Ia menulis teks berjudul Kontribusi Historis Peradaban Arab-Islam kepada Peradaban Dunia yang belakangan diterjemahkan Syekh Muhammad al- Fadhil bin 'Asyur ke dalam bahasa Arab untuk bahan kuliah Universitas Zaytuna tahun 1945.
Perlahan, karier akademisnya mulai pulih. Namun, pemerintah Prancis saat itu terus menaruh curiga. Puncaknya, Garaudy dilarang mengajar ke Tunisia ka rena dituding bersikap anti-Prancis. Adalah terlarang untuk mengatakan, per adaban Arab pernah menguasai seba gian besar peradaban Eropa sampai abad ke-14, kata Garaudy, seperti dikutip al-Mayli.
Sekalipun begitu, nama Garaudy su dah cukup terkenal sebagai pemikir dan aktivis. Menginjak usia 40 tahun, Garaudy mulai meninggalkan kecenderungan po siti visme dalam tulisan-tulisannya. Akan tetapi, ia tetap konsisten berupaya menya tukan aksi politik Marxisme dan iman Kris tiani. Tentu saja, secara konseptual ke duanya bertentangan satu sama lain. Kris ten mengajarkan ihwal transendensi dan harapan akan akhirat. Sementara itu, Mar xisme dengan penekanannya pada materialisme historis mengingkari segala transendensi dan kepercayaan akan hal-hal gaib.
Pada 1970, Garaudy akhirnya dipecat dari Partai Komunis Prancis karena diang gap terlalu kritis terhadap komunisme. Pemecatan ini sempat mengguncang psikologisnya. Bahkan, tulis al-Mayli, Garaudy sempat berpikiran bunuh diri karena merasa kehilangan jalan tempatnya menyalurkan semangat politik emansipasi revolusioner. Namun, pada akhirnya ia sadar bahwa pembebasan pada dasarnya bertolak dari ajakan agama. Manusia tidak hanya diadakan supaya menerima atau mengutuk, tetapi supaya memulai dan mencipta, kata dia.
Tujuh tahun kemudian, Garaudy menulis Demi Dialog Antarperadaban. Karya inilah yang membuka kemasyhuran nama nya sebagai tokoh lintas agama. Sebab, penulisan buku tersebut berdasarkan riset bertahun-tahun. Dia pun telah membaca banyak kitab suci dan mengunjungi banyak negeri sehingga dapat merasakan dan mengalami langsung bagaimana agama-agama tersebut di tempat asalnya.
Berbeda dengan kebanyakan pemikir Eropa, Garaudy menilai, agama dapat menghadirkan daya juang. Sebab, teks wahyu tidak lain merupakan panggilan harapan sekaligus tujuan yang luhur. Ia berharap, agama-agama dengan hikmah dan pendapat kitab-kitab suci dapat menjadi dasar penyingkapan jawaban atas problem-problem abad modern. Dua buku berikutnya jelas-jelas menun jukkan bukan hanya fokus terhadap Islam, melainkan juga penerimaan yang mendalam. Keduanya adalah Promesses de l'Islam (terbit 1981; terjemahan bahasa Indonesia tahun 1982 oleh Prof HM Rasjidi) dan L'Islam habite notre avenir (1981;
harifiah: Islam agama masa depan). Kedua buku itu tuntas dikerjakannya pada satu tahun sebelum Garaudy memeluk Islam. Pada 1983, Garaudy mener bitkan L'affaire Israel (terjemahan bahasa Indonesia tahun 1992) yang merupakan hasil kajiannya atas sejarah pendirian zio nisme dan negara Israel. Karena pener bit an buku ini, Garaudy sampai akhir ha yat nya kerap dituding kaum sekular seba gai penolak Holocaust dan pembenci Yahudi.
Garaudy pada masa-masa akhir hidup nya sibuk menggiatkan dialog antarperadaban. Simpati berdatangan dari Dunia Islam. Apalagi, selepas tudingantudingan miring kepadanyakhususnya isu bahwa dia pendukung Nazi. Di antara apresiasi itu adalah berikut ini. Pada 1999, kelompok intelektual Yordania menyandang kan gelar sosok budayawan internasional paling berpengaruh di abad ke- 20 kepada Roger Garaudy.
Pemerintah Suriah juga tidak ketinggalan menyematkan sebutan Garaudy sebagai filsuf kontemporer Barat paling besar. Pada 1986, sosok yang wafat di Paris, Prancis, ini meraih hadiah King Faisal International Prize dalam kategori kontribusi terhadap Islam.