REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kendati filsafat lahir di Barat, Musliminlah yang ternyata meneruskan estafet Socrates, Plato, dan Aristoteles. Banyak filsuf Muslim yang lahir dan memberikan kontribusi besar bagi pengembangan pemikiran filsafat barat.
Sebut saja al-Kindi, pembuat dasar filsafat Islam, kemudian Ar Razai, al-Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan tentu saja yang tak boleh luput, al-Farabi. Mallim-e-Sani (Master kedua) merupakan julukan yang diberikan kepada al-Farabi karena ia menjadi rujukan para filsuf dunia setelah Aristoteles.
Bermula ketika muncul emirat Islam di Spanyol yang rupanya telah membawa banyak kemajuan, bukan sekadar kemajuan Muslimin, melainkan juga Barat. Kontak Muslim dengan filsafat Yunani memang telah terjalin sejak Umayyah berkuasa di Suriah. Namun, menurut Philip K Hitti, kalangan Muslim Spanyollah yang menorehkan catatan paling mengagumkan dalam sejarah intelektual abad pertengahan di Eropa.
“Orang-orang yang berbicara dengan bahasa Arab adalah para pembawa obor kebudayaan dan peradaban penting yang menyeruak menembus seluruh pelosok dunia. Mereka juga merupakan perantara yang menghubungkan ilmu dan filsafat Yunani klasik sehingga khazanah kuno itu ditemukan kembali,” ujar Hitti.
Puncak pencapaian intelektual itu, menurut Hitti, terjadi dalam arena pemikira filsafat. Dalam bidang filsafat, Muslimin membentuk mata terakhir dan paling kuat dalam mata rantai yang menghubungkan filsafat Yunani dengan dunia pemikiran Latin Barat. Kontribusi mereka semakin besar, terutama melalui upaya mendamaikan iman dengan akal, dan agama dengan ilmu pengetahuan.
“Bagi pemikir (filsuf) Muslim, Aristoteles dianggap benar, Plato juga benar, Alquran juga benar. Tapi, kebenaran harus hanya satu. Karenanya diperlukan pengembangan metodologis untuk menyelaraskan ketiganya,” kata Hiiti.
Itu pula yang dilakukan al-Farabi. Ia terkenal sebagai Aristotelian serta Neo-Platonist. Dalam ranah metafisika, al-Farabi dianggap sebagai “Bapak Neo-Platonisme Islam”.
Dimensi Neo-Platonislah yang mendominasi banyak korpusnya. Terlihat dari banyak karyanya yang dijiwai dengan konsep Neo-Platonis dan konsep keilahan Allah. Sebut saja karyanya bertajuk Al-Madinah Al-fadila (The Virtuous City) yang isinya banyak pengaruh dari buku Republik Plato.
Kemudian, dalam ranah epistemologi, al-Farabi memiliki dimensi Aristoteles, Plato, maupun integrasi keduanya. Konsep epistemologi al-Farabi ini kemudian membawa pengaruh bagi banyak filsuf Muslim, termasuk Ibnu Sina yang datang pada era yang sama. Pun filsuf Eropa, mereka juga banyak terpengaruh al-Farabi, salah satunya yakni filsuf abad pertengahan Eropa Kristen, Thomas Aquinas.
Menurut Antony Black dalam Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, komponen filsafat Platonik dan Aristotelian dipadukan al-Farabi dengan ajaran dari Alquran dan al-Hadis. Mengutip dari filsuf Majid Fakhry, al-Farabi dikelompokkan sebagai Neo-Platonis karena mampu membuat sintesa pemikiran Plato dan Aristoteles.
Menurut Majid, untuk memahami pemikiran kedua filsuf Yunani tersebut, al-Farabi harus membaca karya-karya Plato dan Aristoteles berulang kali. Al-Farabi membaca On the Soul 200 kali dan Physics 40 kali. “Tak heran jika ia mampu mendemonstrasikan dasar persinggungan Aristoteles dan Plato dalam sejumlah hal, seperti tentang penciptaan dunia, kekekalan ruh, maupun siksa dan pahala di akhirat,” ujarnya.
Black menuturkan, al-Farabi tak hanya mampu memahami pemikiran Plato dan Arsitoteles. Tapi, ia juga mampu menuangkan pemikiran filsafatnya ke dalam kitab Fushush al-Hikam dan kitab al-Ihsha` al-'Ulum. Kitab Fushush al-Hikam menjadi karya monumentalnya yang hingga kini masih menjadi buku teks filsafat di berbagai institusi pendidikan. Sedangkan, kitab al-Ihsha` al-'Ulum menjabarkan klasifikasi dan prinsip dasar sains secara unik dan cerdas. Karena itu, tak heran jika pemikiran al-Farabi banyak memengaruhi para pemikir sesudahnya seperti Ibnu Sina yang terpengaruh pemikiran metafisik al-Farabi. Demikian juga dengan Abu Sulaiman as-Sijistani, Abu'l-Hasan Muhammad ibn Yusuf al-'Amiri, dan Abu Hayyan al-Tauhidi.
Dalam halaman Muslimphilosophy disebutkan, Majid Fakhry menggambarkan al-Farabi sebagai pendiri Arab Neo-Platonisme dan sosok besar pertama dalam sejarah yang membawa gerakan filosofis sejak Proclus. Al-Farabi dikenal bangsa Arab sebagai guru kedua setelah Aristoteles. Namun sayangnya, ia dibayangi Ibnu Sina yang memiliki nama lebih besar.
Alhasil, al-Farabi tak sepamor Ibnu Sina di dunia Islam. Padahal, ia merupakan seorang filsuf besar. Tak hanya itu, selain filsafat ia juga mempelajari aritmatika, fisika, kimia, medis, dan astronomi. “Al-Farabi adalah salah satu filsuf besar di dunia dan jauh lebih besar daripada para filsuf penerusnya. Ia merupakan seorang filsuf, ahli logika, dan musisi. Ia juga seorang ilmuwan politik besar,” tulis artikel “Al Farabi” dalam Muslimphilosophy.