REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Umat Islam di Yangon memprotes penutupan dua sekolah agama atau madrasah. Terlebih, penutupan kabarnya cuma sementara, tapi berlanjut sampai Ramadhan. Kondisi ini membuat lebih sedikit tempat untuk Muslim melaksanakan ibadah.
Dilansir dari Anadolu Agency, Kamis (1/6), pemerintah setempat menutup dua madrasah di Yangon usai melakukan negosiasi dengan pemimpin Muslim setempat. Hal itu terjadi usai gerombolan yang dipimpin biksu Buddha ultra-nasionalis menuntut penutupan untuk disegerakan.
Seratusan umat Islam pada Rabu (31/5) malam berkumpul di jalan depan salah satu madrasah untuk berdoa dan sebagai aksi protes atas penutupan yang terjadi. Pasalnya, sejak ditutup 28 April lalu dengan alasan sementara, dua madrasah belum juga dibukan sampai Ramadhan tiba.
Kepala Madrasah, Tin Shwe mengatakan, pihak berwenang turut melarang penduduk Muslim untuk beribadah di enam sekolah lain di Kotapraja Thakayta tanpa alasan jelas. Akhirnya, umat Islam di sana memilih untuk shalat di tempat masing-masing seperti rumah dan toko. "Kami minta mereka mengizinkan kami beribadah di sekolah-sekolah ini selama bulan Ramadhan, tapi itu tidak terjawab," kata Shwe.
Salah seorang warga Muslim berusia 32 tahun dari Thakayta, Min Naung menuturkan, telah beribadah di sekolah sejak ia masih kecil. Karenanya, ia mengaku larangan yang terjadi membuatnya terkejut, apalagi larangan sementara itu terus dilakukan sampai Ramadhan. "Ini pertama kalinya kami tidak bisa berkumpul selama bulan Ramadhan," ujar Naung.
Sementara, Human Rights Watch (HRW) mengungkapkan, penutupan itu merupakan kegagalan pemerintah untuk dapat melindungi minoritas di sana. Maka itu, mereka minta agar pemerintah Myanmar dapat turun tangan dan tidak melarang praktik umat beragama.
"Pemerintah harus segera mengembalika penutupan ini, mengakiri pembatasan terhadap praktif agama minoritas dan menuntut ultra-nasonali yang telah melanggar hukum atas nama agama," kata Wakil Direktur HRW Phil Robertson.