REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (NU) akan memantau 125 titik hilal. Pemantauan ini untuk menentukan awal Ramadhan 1438 H, 1 Syawal 1438 H, hingga Hari Raya Idul Fitri 1438 H.
Ketua Lajnah Falakiyah NU KH Ghazali Masruri mengatakan tahun ini selain dari titik pantau yang menjadi prioritas untuk laporan pemantauan NU juga akan melihat pemantauan hilal di daerah-daerah pedalaman. "Kami akan menempatkan ahli rukyat di daerah-daerah seluruh Indonesia termasuk daerah terpencil dan terluar seperti di Yapen, Papua," katanya kepada Republika.co.id, Rabu (17/5).
Penambahan titik pantau ini adalah bagian dari perluasan pemantauan hilal di daerah yang masih dalam wilayah Indonesia. Meskipun sebenarnya sebelumnya seluruh daerah memiliki perwakilannya sendiri-sendiri tetapi hanya diambil beberapa saja.
"Indonesia ini merupakan negara kepulauan, sehingga sangat perlu untuk memantau hilal di setiap pulau baik yang biasa dilakukan maupun pulau-pulau terluar dan terpencil," kata dia.
Pemantauan hilal ini dilakukan oleh orang yang ahli dan paham mengenai ilmu falakiyah. Lama pemantauan hilal bergantung dari banyaknya pengalaman setiap ahli.
Ahli falakiyah di sukabumi, misalnya, dalam waktu enam menit setelah matahari tenggelam dapat segera membuat laporan mengenai apakah hilal sudah terlihat dan sesuai dengan syarat minimal bulan baru muncul. Tetapi untuk mereka yang masih baru biasanya membutuhkan waktu 45 menit untuk mengamati hilal.
Untuk mengamati hilal, para ahli biasanya sudah memiliki tempat yang paling baik untuk melihat hilal. Di Sukabumi misalnya, mereka biasa melihat hilal di Pelabuhan Ratu.
Tak hanya menggunakan pemantauan hilal, NU juga menggunakan metode hisab. Namun metode ini hanya dijadikan prediksi sedangkan kepastian tetap menunggu pemantauan hilal. Tak hanya hisab, mereka juga akan membahas penentuan awal Ramadhan ini dengan ahli astronomi yang dimiliki NU.