Jumat 05 May 2017 15:21 WIB

Ibu dan Hak Pengasuhan Anak

Rep: Yus/Berbagai Sumber/ Red: Agung Sasongko
Pengasuhan anak (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Pengasuhan anak (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tak ada satu pasangan  pun yang mengharapkan pernikahan mereka berakhir dengan perceraian. Namun, biduk rumah tangga, kerap kali berakhir dengan perceraian -- sesuatu yang halal, tetapi paling dibenci Allah SWT.  Meski begitu, angka perceraian di Tanah Air  justru  menempati urutan pertama di kawasan Asia, mencapai 200 ribu kasus per tahunnya.

Perceraian kerap kali membawa konsekuensi yang sangat berat, yakni masalah anak-anak. Siapa yang berhak mengasuk anak,  ayah ataukah ibunya?

Terkait masalah ini, Islam mengenal istilah hadlanah. Menurut Imam al-San'ani' hadlanah berarti memelihara seorang anak yang belum (atau tidak) bisa mandiri, mendidik dan memeliharanya untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang bisa merusak dan mendatangkan mudharat.

Para ulama bersepakat, hak mengasuh anak yang belum akhil balig harus diutamakan kepada ibunya. Ini mengingat kaum wanita dianggap lebih memiliki jiwa keibuan, dibandingkan kaum lelaki. Ketentuan ini memiliki dasar hukum yang kuat yakni hadis Nabi SAW.

 

''Seorang perempuan berkata kepada Rasulullah, ''Wahai Rasulullah, anakku ini, aku yang mengandungnya, air susuku yang diminumnya, dam di bilikku tempat berkumpulmya bersamaku, ayahnya telah menceraikanku dan ingin memisahkannya dariku.''  

Maka Rasulullah bersabda, ''Kamulah yang lebih berhak memeliharanya selama kamu tidak menikah.'' (HR Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim mensahihkannya)

Zaitunah Subhan dalam bukunya bertajuk Menggagas Fikih Perempuan, memaknai hadis ini sebagai ketentuan hukum dalam memberikan pengasuhan anak kepada ibu. Hadis ini juga menjadi dasar ketetapan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 105 menyangkut hak pemeliharaan anak.

Meski begitu, seorang ayah juga tak lepas dari kewajiban untuk menanggung biaya pemeliharaannya. Tanggung jawab ayah tidak lantas hilang hanya karena terjadinya perceraian.  Zaitunah menggarisbawahi kelanjutan  hadis Rasulullah yang menekankan kalimat ''selama kamu tidak menikah.''

Sehingga, tutur Zaitunah, seandainya si ibu menikah kembali, hak pengasuhan bisa tak berlaku lagi.  Pemeliharaan anak pun dapat beralih kepada ayah. ''Alasannya, bila ibu menikah lagi, besar kemungkinan perhatiannya akan beralih kepada suaminya yang baru, sehingga pengasuhan yang diberikan jadi kurang maksimal,'' ungakpnya.

Ibrahim Muhammad al-Jamal berpendapat, hak asuh ayah sebenarnya tidak tertutup sama sekali. Ada kalanya, ayah justru lebih arif dan lebih tahu akan kebutuhan sang anak. Jadi hal itu bisa diatur, sekalipun anak tetap berada di sisi ibunya dan tetap dalam pemeliharaannya.

Hanya saja, menurut al-Jamal, pengasuhan terhadap anak yang masih kecil, sebaiknya tetap diprioritaskan kepada ibu. ''Pada hakikatnya, wanita manapun  sama dalam cintanya kepada anak, perhatian terhadap keselamatannya serta pembelaannya terhadap bahaya yang mengancam anak,'' papar  al-Jamal dalam bukunya berjudul Fikih Wanita.

Berbeda halnya apabila sang anak sudah mumayyiz (sudah berusia 12 tahun). Penentuan pengasuhan diserahkan kepada pilihan anak sendiri, apakah ingin bersama ayah atau ibunya. 

Meski begitu, sebagian ulama berpandangan agar hakim sepatutnya tak begitu saja menyerahkan pilihan kepada anak.

Hakim pengadilan agama diminta untuk melakukan penelitian lebih dulu mana yang lebih bisa membawa maslahat bagi anak tersebut.  Jika hasil penelitian menunjukkan ibu lebih dapat dipercaya dalam memelihara anak, maka sebaiknya pengasuhan diberikan kepada ibu, atau sebaliknya.

''Dan hakim bisa mengabaikan pilihan anak demi kepentingannya di masa depan,'' ungkap Imam Asy-Syaukani. Sejatinya, Islam  mengatur pemeliharaan anak sedemikian rupa, karena menginginkan yang terbaik. Anak yang terlahir ke dunia sebagai titipan Allah SWT, harus dipelihara dengan sungguh-sungguh, baik oleh orangtua maupun kerabatnya.

Sementara bagi anak yang yatim piatu dan tidak pula memiliki kerabat, pemeliharaannya menjadi tanggungan negara. Menurut al-Jamal, pemerintah akan menunjuk siapapun yang cakap untuk memeliharanya. Sesungguhnya anak adalah titipan dan amanah dari Sang Khalik yang harus dijaga dan dibesarkan dengan penuh cinta dan kasih sayang.

Sebuah perceraian tak boleh merugikan anak-anak, yang akan menjadi penerus di masa depan. n

 

Syarat-syarat Mengasuh Anak

1. Baligh dan berakal

2. Mampu mendidik

3. Terpercaya dan berbudi luhur

4. Islam. Orang non-Muslim tidak bisa diserahi memelihara anak. 

5. Tidak bersuami. Wanita yang sudah menikah lagi, maka gugurlah haknya untuk memelihara anak dari suaminya yang lama. sumber: buku Fiqih Wanita.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement