Kamis 27 Apr 2017 16:05 WIB
Kongres Ulama Perempuan Indonesia

Ketika Alimat Menjadi Vokal Menghadapi Realita

Ulama wanita asal Arab Saudi Hatoon Al Fassi (kanan) memberikan materi dalam International Seminar on Women Ulama di Kampus IAIN Syekh Nurjati, Cirebon, Jawa Barat, Selasa (25/4). Seminar Internasional bertema
Foto: ANTARA FOTO/Dedhez Anggara
Ulama wanita asal Arab Saudi Hatoon Al Fassi (kanan) memberikan materi dalam International Seminar on Women Ulama di Kampus IAIN Syekh Nurjati, Cirebon, Jawa Barat, Selasa (25/4). Seminar Internasional bertema "Peran Ulama Perempuan Dalam Meneguhkan Nilai Keislaman, Kebangsaan dan Kemanusiaan" tersebut merupakan rangkaian dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) 25 - 27 April 2017.

REPUBLIKA.CO.ID, Ketika bicara tentang perempuan Arab Saudi, hal yang menjadi lebih kompleks, karena perempuan harus memikul beban tradisi negara Islam yang menjadikannya kaku dalam semua tingkatan, baik politik, ekonomi dan sosial. Sementara, perempuan Arab Saudi menjadi contoh bagi semua dunia Islam.

 

"Maka dari itu, sebagai ulama perempuan, kita memiliki tanggung jawab menyebarkan Islam moderat yang menyampaikan kesetaraan dan kemanusiaan," tutur seorang ulama perempuan dari Arab Saudi, Hatoon Al-Fasi, saat hadir dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Kegiatan itu dilaksanakan di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al Islamy, Babakan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, 25 – 27 April 2017.

 

Di Arab Saudi, ulama perempuan atau alimat adalah para pendidik perempuan. Mereka ahli dalam studi agama yang memiliki kemampuan untuk memberikan fatwa dan ijtihad. Mereka juga memiliki pengetahuan tentang Islam yang dapat memberikan semangat kesetaraan dan keadilan.

 

Sayangnya, banyak pimpinan yang memonopoli pandangan yang akhirnya menyudutkan perempuan. Hal itu adalah kasus-kasus dan tantangan yang dimiliki perempuan muslim di banyak tempat.

 

"Untungnya, Arab Saudi memberikan keistimewaan terhadap saya sekaligus menjadi perhatian ketika saya yang perempuan di Arab Saudi berbicara Islam. Di dunia Arab para alimat tidak banyak," kata Hatoon.

 

Hatoon mengakui, menjadi seorang alimat di kawasannya (Arab Saudi) bukanlah tugas yang mudah. Walaupun ada ribuan perempuan lulusan pendidikan Islam dan penghafal Alquran, tetapi  tidak ada alimat yang diakui sebagai imam yang bisa melakukan ijtihad dan diakui.

 

Merujuk pada kehidupan perempuan Arab Saudi hari ini, tambah Hatoon, mereka memiliki kisah yang berbeda dari sebelumnya. Mereka mencoba untuk menghadapi realita dan melakukan interpretasi terhadap realita itu. Meskipun sulit, namun satu persatu mereka menjadi vokal. Apa yang telah diajarkan oleh ulama (laki-laki) baik di sekolah ataupun institusi keagamaan bukanlah satu-satunya kebenaran.

 

Sementara itu, di Maroko dan Mesir, ijtihad yang  dilakukan alimat untuk memberikan perspektif perempuan pada Islam diharapkan bisa memberikan harapan bagi dunia muslim. Beberapa strategi yang digunakan, jika merujuk pada pusat studi pembangunan di Mesir, maka metode mereka adalah menjembatani organisasi-organisasi perempuan untuk memfokuskan pemenuhan hak-hak perempuan oleh negara. Seperti di kampus Al-Azhar yang berhasil membuahkan banyak karya.

 

Begitupun inisiatif dari pusat studi perempuan di Maroko dengan membangun jaringan yang mendorong kekuatan di kalangan perempuan muslim negara-negara Arab ke tingkat global. Hal itu ditempuh dengan memproduksi tulisan tentang pengalaman mereka.

 

Menurut Hatoon, organisasi itu telah memimpin dan mengambil peran yang sangat penting bagi negara-negara Arab melalui bangunan pengetahuan dengan mendiseminasi karya dan terjemahan karya-karya mereka. Pengetahuan itusangat baik untuk memberikan bacaan alternatif.

 

Seorang ulama perempuan asal Pakistan, Mossarat Qadeem, menuturkan, peran perempuan saat ini di Pakistan sangat berat karena mereka tercerabut dari akarnya. Mereka yang seharusnya bisa mengembangkan keluarganya, kini harus merawat para korban perang.

 

Para perempuan di Pakistan pun seringkali mendapatkan perlakukan yang tidak menyenangkan bahkan menjadi korban bom bunuh diri. Dalam situasi dan kondisi seperti itu, mereka menjadi bingung dan kebanyakan dari mereka bertanya kepada maulananya. Namun, tidak jarang maulananya justru menginfiltrasi mereka dengan paham-paham radikal.

 

"Maka dari itu, kami minta agar para ibu menjadi agen perubahan yang positif sehingga anak-anak tidak terlibat dalam radikalisme," ujar Mossarat.

 

Ulama perempuan pun membangun pandangan yang melawan bias dari masyarakat. Di antaranya dengan meningkatkan kapasitas dari guru agar bisa membangun toleransi.

 

"Kami melakukan kegiatan kreatif sehingga mereka bisa belajar dan diakui. Tetapi pekerjaan kami mengandung risiko karena kami ingin mengubah mindset di masyarakat," tandas Mossarat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement