REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mengulik kembali asal mula musik tak lepas dari dasar fikihnya. Ada dua pandangan di dalam Islam terhadap musik.
Ada ulama yang membolehkan dan ada pula yang melarangnya. Perbedaan ini muncul lantaran Alquran tak membolehkan dan melarangnya.
Ulama terkemuka Dr Yusuf al-Qaradawi dalam bukunya Al-Halaal wal Haraam fil Islam, memperbolehkan musik dengan sejumlah syarat. Sebenarnya, sejumlah ritual keagamaan yang dijalankan umat Islam mengandung musikalitas.
Salah satu contohnya adalah alunan azan. Selain itu, ilmu membaca Alquran atau ilm al-qiraah juga mengandung musik.
Meski begitu, al-Albani melarang umat Islam bermusik. Ia mendasarkannya pada salah satu hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari. “Akan ada dari umatku kaum yang menghalalkan zina, memakai sutra, minuman keras, dan alat-alat musik.”
Secara umum, umat Islam memperbolehkan musik. Bahkan, di era kejayaannya, umat Islam mampu mencapai kemajuan dalam bidang seni musik. Terlebih lagi, musik dan puisi menjadi salah satu tradisi yang berkembang di Semenanjung Arab sebelum kedatangan Islam.
Pencapaian peradaban Islam dalam bidang musik tercatat dalam Kitab al-Aghani yang ditulis al-Isfahani (897 M-967 M). Dalam kitab itu, tertulis sederet musisi di zaman kekhalifahan, seperti Sa’ib Khathir (wafat 683 M), Tuwais (wafat 710 M), dan Ibnu Mijjah (wafat 714 M). Seni musik juga berperan penting dalam penyebaran Islam ke seluruh penjuru Jazirah Arab, Persia, Turki, hingga India.
Seni musik berkembang pesat di era kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Para ilmuwan Muslim banyak menerjemahkan risalah musik dari Yunani, terutama ketika Khalifah Al-Ma’mun berkuasa. Para Khalifah Abbasiyah pun turut mensponsori para penyair dan musisi. Salah satu musisi yang karyanya diakui dan disegani adalah Ishaq al-Mausili (767 M-850 M).
Pada awal berkembangnya Islam, musik diyakini sebagai cabang dari matematika dan filsafat. Tak heran, jika matematikus dan filsuf Muslim terkemuka, al-Kindi (800 M-877 M), menjadi ahli teori musik terkemuka. Al- Kindi juga tercatat sebagai ilmuwan yang menjadikan musik untuk pengobatan dan penyembuhan penyakit. Ia menulis tak kurang dari 15 kitab tentang musik, namun yang masih ada tinggal lima. Al-Kindi adalah orang pertama yang menyebut kata ‘musiqi’.
Tokoh Muslim lainnya yang juga banyak menyumbangkan pemikirannya bagi musik adalah al-Farabi (870 M-950 M). Ia tinggal di Istana Saif al-Dawla al-Hamdan¡ di Kota Aleppo, Suriah. Matematikus dan filsuf ini juga sangat menggemari musik serta puisi. Selama tinggal di istana itu, al-Farabi mengembangkan kemampuannya bermusik.
Al-Farabi juga diyakini sebagai penemu dua alat musik, yakni rabab dan qanun. Ia menulis tak kurang dari lima judul kitab tentang musik. Salah satu buku musiknya yang populer bertajuk , Kitabu al-Musiqa to al- Kabir, atau The Great Book of Music yang berisi teori-teori musik dalam Islam.
Pemikiran al-Farabi dalam bidang musik masih kuat pengaruhnya hingga abad ke-16 M. Kitab musik yang ditulisnya sempat diterjemahkan oleh Ibnu Aqnin (1160 M-1226 M) ke dalam bahasa Ibrani. Selain itu, karyanya juga dialihbahasakan ke dalam bahasa Latin berjudul De Scientiis dan De Ortu Scientiarum. Salah satu ahli teori musik Muslim lainnya adalah Ibnu Sina.
Disarikan dari Pusat Data Republika