Selasa 18 Apr 2017 04:33 WIB

Harta Konglomerat, Rekening Gendut: Jangan Anggap Remeh Aset Ulama!

Pesantren Tazakka di Batang, Jateng
Foto:
Pesantren Tazakka di Batang, Jateng.

Pondok Modern Tazakka, Batang, Jawa Tengah, enam tahun yang lalu hanyalah hamparan tanah kosong yang tak berpenghuni. Dahulu, ia adalah sebuah kebun cengkeh milik kakekku, hanya 1,6 ha luasnya yang setelah wafatnya pada 1988 nyaris tak terurus dengan baik. Tahun 2009, aku tekadkan untuk mengubahnya menjadi "kebun manusia"; bukan lagi cengkeh yang akan dipetik, tapi manusia-manusia masa depan yang akan dipanen: 10, 20, atau 30 tahun yang akan datang, bahkan, mungkin satu abad, atau 10 abad seperti Universitas Al-Azhar di Kairo, tempatku dan adik-adikku nyantri.

Kini, wakaf Tazakka terus berkembang,: tanah telah menjadi hampir 10 hektare, masjid, gedung-gedung asrama santri, ruang-ruang kelas, aula pertemuan, dapur umum santri, kamar mandi, lapangan olah raga, perpustakaan, dan lain sebagainya. Bisakah seperti Al-Azhar di Kairo atau Gontor di Ponorogo? Aku selalu berdoa seperti itu, agar keabadian aset wakafnya mengalirkan pahala kepada para arwah para pendiri dan pejuang-pejuangnya.

Buya HAMKA seandainya masih hidup, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asyari, dan juga Kiai Ahmad Sahal, Kiai Fannanie dan Kiai Imam Zarkasyi, saat ini mereka sedang tersenyum di sisi-Nya, karena simpanan di rekening gendut akhiratnya terus mengalir. Sementara yang punya rekening gendut di dunia, pusing di akhiratnya, pusing pula di dunianya. Mereka itu rela hidup sangat sederhana --untuk tidak mengatakan menderita-- demi memperjuangkan sebuah cita-cita dan memelihara amanah wakafnya.

Sebuah hadis Nabi SAW menyebutkan: "Ada malaikat Allah yang siap mendoakan orang-orang yang ikhlas di jalan Allah yang tak terhitung jumlahnya." Itulah jalan kemuliaan para ulama kita terdahulu. Mereka tidak saja mewariskan nilai-nilai kehidupan, tetapi juga mewariskan peradaban. Lalu, pertanyaannya, apa yang sedang dan akan wariskan kepada generasi yang akan datang?

Para ulama pendahulu kita, mereka abadi hingga kini. Setidaknya, nama, foto dan silsilahnya masih segar di ingatan seluruh umat dan bangsa ini. Dengan begitu, mereka selalu didoakan. Duh, nikmatnya mereka, tiap saat kuburnya basah dan lapang karena kiriman doa-doa umatnya yang terus-menerus tiada henti. Bisakah kita kelak seperti mereka? Ya Rabb!

Itulah jalan wakaf, membentang ke depan tak berujung. Wakaf itu seperti --meminjam istilah Taufiq Ismail-- "Sajadah Panjang", tempat kita menghamparkan diri berinvestasi untuk akhirat yang abadi. Harta yang kita wakafkan tidak hilang, tetapi tersimpan dalam rekening akhirat. Ibarat sebuah transaksi di bank, para malaikat itulah yang bertugas sebagai teller-teller-nya.

Aku hanya bisa berdoa, semoga kita semua ini menjadi batu-batu pondasi untuk sebuah peradaban masa depan yang Islami. Apa pun yang telah kita ikhlaskan dalam bentuk wakaf: aset, uang tunai, tenaga, pikiran, akses jaringan, keahlian, manfaat dan lain sebagainya, semoga itu semua menjadi catatan kebaikan dalam timbangan di akhirat kelak.

"Jika anak Adam mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak saleh yang mendoakannya." (Muttafaqun Alaih).

"Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya." (Qs Ali Imran [3]: 92).

Wakaf memang mengagumkan! Sayang, belum banyak yang mengerti dan melakukannya!⁠⁠⁠⁠

* Pimpinan Pondok Modern Tazakka Batang, Jawa Tengah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement