Senin 10 Apr 2017 15:30 WIB

Jejak Kesultanan Mataram

Rep: Heri Ruslan/ Red: Agung Sasongko
Sejumlah warga berebut gunungan saat prosesi Grebeg Syawal di Halaman Masjid Gede, Kauman, Yogyakarta, Kamis (8/8)
Foto: Antara
Sejumlah warga berebut gunungan saat prosesi Grebeg Syawal di Halaman Masjid Gede, Kauman, Yogyakarta, Kamis (8/8)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hadiah sebuah lahan dari Sultan Pajang, Sultan Hadiwijaya, kepada Ki Ageng Pamanahan menjadi awal mula berdirinya Kerajaan Mataram. Siapa sangka lahan di pedalaman Jawa yang dihadiahkan atas jasa Ki Ageng Pamanahan yang berhasil mengalahkan Sunan Prawata itu kemudian berkembang menjadi kerajaan besar di tanah Jawa. Serta merta kerajaan Demak dan Pajang mulai layu dan tumbuhlah sebuah kerajaan baru yang besar, Kesultanan Mataram Islam.

Pada masa Kerajaan Hindu Buddha, terdapat pula sebuah kerajaan bernama Mataram yang dikenal sebagai Mataram Kuno atau Mataram Hindu. Namun, keduanya tak berkaitan. Yang dibicarakan di sini merupakan Kesultanan Mataram Islam yang memimpin tanah Jawa pada abad ke-16. Adapun Mataram Kuno eksis di abad kedelapan hingga ke-10.

Jika jalan-jalan ke Kota Gede Yogyakarta, akan sangat banyak ditemui bekas peninggalan Kesultanan Mataram Islam. Masjid, pasar, keraton, bekas benteng, hingga makam menjadi saksi pernah berdirinya sebuah kerajaan besar di tanah Jawa tersebut. Kesultanan tersebut menguasai seluruh Jawa (kecuali Batavia dan Banten), bahkan hingga Madura. Sebuah “negara” Jawa berdiri tangguh selama ratusan tahun.

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Islam di Indonesia menyebutkan, Mataram merupakan kawasan subur yang terletak di antara Kali Opak dan Kali Praga yang mengalir ke Samudra Hindia. Lahan yang subur tersebut kemudian memungkinkan pertumbuhan dan perkembangan pusat Kerajaan Mataram. Daerah yang dihadiahkan dari Pajang tersebut kemudian oleh Ki Ageng Pamanahan, anak Ki Ageng Ngenis didirikanlah sebuah keraton pada 1578.

Setelah beberapa tahun mendiami keraton, Ki Ageng Pamanahan atau Ki Ageng Mataram wafat pada 1584. Penggantinya adalah putranya, Senapati ing Alaga, yang pada masa mudanya bergelar Ngabehi Loring Pasar. Ia bukan lain merupakan menantu Sultan Pajang, yakni Sultan Hadiwijaya. Pada masa pemerintahannya, Mataram memperluas daerah kekuasaan ke wilayah sekitarnya termasuk daerah pesisir utara, kemudian ke daerah-daerah di Jawa bagian timur maupun ke daerah Jawa bagian barat.

Pajang yang berada di bawah kekuasaan Mataram berubah menjadi kadipaten dan diperintah Pangeran Benawa, putra Sultan Hadiwijaya. Kecuali Pajang, Demak juga dikuasainya yang kemudian ditempatkan seorang dari Yuwana, daerah Kedu dan Bagelen juga dapat dikuasai. Madiun pada 1590 mengakui kekuasaan Mataram, demikian pula Surabaya, selanjutnya, “Mataram menaklukkan Kediri. Panembahan Senapati ing Alaga juga meluaskan daerah kekuasaan dan pengaruhnya ke bagian barat sampai ke Priagan Timur dan Kesultanan Cirebon,” ujar Marwati dan Nugraha.

Pascamangkatnya Panembahan Senapati ing Alaga, putranya dari selir putri asal Pati, Raden Jolang, kemudian naik takhta. Pada masa pemerintahannya pada 1601 sampai 1613, Raden Jolang menyempurnakan pembangunan kota yang dikenal sebagai Kota Gede. Kemudian penerus selanjutnya, yakni cucu Senapati ing Alaga, yakni RM Jatmiko atau Pangeran Rangsang, menjadi titik balik Kesultanan Mataram. Ia juga bergelar Sultan Agung Senapati ing Alaga atau lebih dikenal dengan Sultan Agung, membawa kesultanan ke puncak kejayaan.

Kerajaan Mataram mengalami puncak kejayaan pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan Agung yang memerintah pada 1613-1645. Pada waktu itu wilayah kekuasaannya meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat.

“Sebelum VOC menganeksasi wilayah negara Mataram sampai abad ke-17, seluruh kekuasaan Mataram dibagi menjadi beberapa kesatuan wilayah besar yang berkedudukan di keraton sebagai pusatnya. Istana dan keraton raja disebut sebagai 'Kutanegara' atau 'Kutagara' yang terletak di ibu kota negara,” ujar Marwati dan Nugroho dalam buku yang sama, namun seri keempat, Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement