REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Carilah ilmu walau sampai ke negeri Cina, jadi motivasi yang kerap didapatkan Ketua Komisi Dakwah MUI KH Cholil Nafis sejak kecil. Itu kutipan hadits dha'if atau maudhu' agar selalu menuntut ilmu, yang tidak pula berarti merendahkan atau mengunggulkan Cina.
"Walhamdulillah, saya diberi kesempatan berkunjung ke beberapa kota di Cina, dan di antara yang bisa dipotret adalah umat Muslim di Cina," kata Cholil melalui rilis yang diterima Republika, Kamis (23/3).
Cholil mengatakan, hari pertama mendarat di Bandara Beijing langsung berkunjung ke kantor Asosiasi Muslim Cina yang ada di daerah Niujie. Niujie sendiri memiliki mayoritas penduduk Muslim dan semua industri serta barang-barang yang di jual sekitar itu halal.
Cina memiliki 700 asosiasi seperti Cina Islamic Association (CIA). Abd Hakim Ma Jie sebagai perwakilan organisasi resmi warga Muslim Cina menjelaskan, umat Islam di sana hidup tersebar di setiap wilayah Cina.
Kata dia, umat Islam umumnya tinggal di daerah-daerah yang berbatasan dengan Asia Tengah, Tibet dan Mongolia. Konsentrasi tertinggi ditemukan di barat laut provinsi Xinjiang, Gansu dan Ningxi dengan populasi yang signifikan juga ditemukan di seluruh provinsi Yunnan di barat daya Cina dan provinsi Henan di pusat Cina.
Dikatakan Cholil, jumlah umat Islam di Cina sekitar 23 juta, dengan bimbingan 53 ribu imam yang tersebar di 39 ribu masjid. Imam-imam masjid mendapat pembinaan dan diangkat CIA. Cholil melihat, perbedaan pemahaman agama tidak mengemuka karena semua dibawah bimbingan CIA.
Meski kadang terjadi perbedaan antara satu wilayah dengan wilayah yang lain dalam mengawali dan mengakhiri puasa, cara menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri menggunakan kombinasi antara hisab maupun rukyah. Sekaligus, melihat rukyah hilal di daerah terdekat, dengan fikih yang dianut adalah mazhab Hanafi.
"Umat Islam (Muslim) Cina banyak memberi pengajaran ilmu dan bimbingan masyarakat melalui pesantren dan madrasah. Ada 10 pesantren di seluruh Cina," ujar Cholil.
Dia menjelaskan, masjid selain sebagai tempat pembinaan masyarakat dan keluarga, banyak halaqah dengan jumlah peserta terbatas yang dilaksanakan di masjid seusai pelaksanaan shalat rawatib. Khususnya ba'da shalat maghrib dan seusai shalat subuh, seperti Majelis Taklim jika di Indonesia.
"Masyarakat muslim di Cina difasilitasi oleh negara. Selain diberi anggaran untuk pembinaan umat, kebutuhan tempat ibadah diberi lahan dan anggaran oleh pemerintah," kata Cholil.
Pembangunan Masjid, lanjut Cholil, disiapkan tanahnya oleh negara dan sebagian anggarannya, dan imam-imam pembina masyarakat selain swadaya masyarakat, diberi anggaran pemerintah. Ia merasa, umat Islam dipenuhi hak-haknya di dalam menjalankan kewajiban agama dan fasilitas pengembangan dakwahnya.
Dalam ilmu penelitian, asumsi itu perlu dilakukan observasi demi memastikan kebenaran dilapangan. Realitas Muslim di Cina dan sekaligus dapat membantu saudara-saudara yang hidup sebagai minoritas. Karenanya, ia menilai perlu menyebarkan dakwah Islam Washotiyah ke Cina.
"Ada kemiripan tradisi pendidikan antara Indonesia dan Cina, khususnya pendidikan berasrama seperti pesantren. Perlu membantu pendidikan dan penyebaran dakwah ke Cina," ujar Cholil.
Dia berpendapat, pemerintah Indonesia bisa memfasilitasi generasi Muslim Cina yang hendak belajar di Indonesia, serta mengirim guru dan da'i ke Cina. Menurut Cholil, dengan begitu akan terjadi rasa saling memahami dari kebudayaan dan keberagamaan yang bersifat konstrukti atau membangun.
"Bersilaturrahim dan dialog antar Muslim dapat membangun sinergi bersama, untuk mewujudkan perdamaian dan kemajuan, serta mencegah potensi konflik," kata Cholil.