Jumat 24 Feb 2017 16:15 WIB

Mengenal Kalender Hijriyah

Rep: Rid/Sya/Berbagai Sumber/ Red: Agung Sasongko
Sistem penghitungan pada kalender hijriyah menggunakan perputaran bulan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di Indonesia, sistem penanggalan Hijriyah telah diterima secara luas, khususnya oleh umat Islam. Namun, di tanah Jawa, terjadi percampuran antara sistem penanggalan Jawa (saka) dan hijriyah yang disebut kalender Jawa-Islam.

Ada cerita menarik seputar proses percampuran dua kalender tersebut. Konon, Sultan Agung (sultan Mataram Islam ketiga) yang mencampurkan kedua sistem penanggalan itu terlebih dulu meminta petunjuk ke pesarean (kuburan) Sunan Bayat di Tembayat. Sesaat setelah Sultan Agung bertemu dengan arwah Sunan Bayat, barulah beliau diberi perintah untuk mengganti penanggalan Jawa dengan penanggalan Islam. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1633 M.

Menurut Prof Dr Damardjati Supajar, guru besar Filsafat UGM, Yogyakarta, kebijakan Sultan Agung mengganti kalender saka dengan hijriyah menandakan kepekaan Sultan Agung pada kebutuhan spiritual umat Islam. ''Hijrah tidak semata-mata perpindahan fisik dari satu tempat ke tempat lain, tetapi yang lebih substantif. Hijrah mengandung pengorbanan. Ini dapat dilihat dari pengorbanan Sayyidina Ali RA yang tidur di kasur Rasulullah ketika beliau hijrah,'' papar Damardjati kepada Republika.

Pelajaran yang dapat dipetik dari peristiwa hijrah, kata Damardjati, adalah keteladanan Ali sebagai pelaku 'tidur syahid'. ''Jadi, perpindahan yang harus kita pahami dari penanggalan saka ke hijriyah adalah sebuah isyarat untuk melakukan pengorbanan dalam arti yang luas. Memperingati tahun Hijriyah pun harus dengan pengorbanan, bukan dengan hura-hura,'' kata Damardjati.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement