Selasa 21 Feb 2017 06:21 WIB

Menyoal Sumpah dalam Berniaga

Rep: Ferry Kinsihandi/ Red: Agung Sasongko
 Seorang penjual penjual pempek tengah melayani pembeli (ilustrasi).
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nabi Muhammad pernah melalui suatu makanan yang oleh pemiliknya dipuji-puji. Lalu, beliau meletakkan tangannya pada makanan itu dan akhirnya mengetahui bahwa makanan itu sangat jelek. Maka, beliau mengatakan pada pedagang itu untuk menjual makanan tersebut menurut harga yang pantas dengan kualitasnya.

Pedagang Muslim terdahulu telah memberikan contoh yang baik. Mereka selalu menjelaskan cacat barang dagangannya dan sama sekali tak merahasiakannya. Mereka selalu berbuat jujur dan tidak berdusta, ikhlas, serta tak menipu,” kata al-Qaradhawi menjelaskan.

Ibnu Sirin pernah menjual seekor kambing dan ia mengatakan kepada pembelinya bahwa dia akan menjelaskan mengenai ciri kambing yang dijualnya, yaitu kakinya cacat. Al-Qaradhawi mengatakan, tingkat keharaman lebih tinggi berlaku jika penipuan yang dilakukan pedagang disertai dengan sumpah palsu.

Tak heran jika Rasulullah secara tegas melarang para pedagang banyak melakukan sumpah, terutama sumpah palsu. Sumpah itu menguntungkan perdagangan, tetapi dapat menghapuskan berkah,” katanya. Ada beberapa alasan mengapa Rasul membenci banyak melontarkan sumpah dalam perdagangan.

Menurut Rasul, sumpah memungkinkan terjadinya penipuan dalam perdagangan dan menyebabkan hilangnya nama Allah SWT dari dalam hati para pedagang yang banyak bersumpah itu. Pedagang yang melakukan sumpah palsu dengan tujuan meraih keuntungan kelak di hari kiamat tak akan dilihat atau diperhatikan Allah.

Dalam hadis yang diriwayatkan Ahmad, dijelaskan, orang yang menjadikan Allah sebagai dagangannya, yaitu ia menjual barangnya dengan bersumpah menyebut nama Allah dan membeli dengan bersumpah menyebut nama Allah. Al-Qaradhawi mengatakan, orang ini memperdagangkan nama Allah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement