Senin 20 Feb 2017 17:27 WIB

Ibu Sebagai Pendidik

Rep: Ferry Kinsihandi/ Red: Agung Sasongko
Ibu Hamil. Ilustrasi
Foto: Boldsky
Ibu menidurkan bayinya (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tugas pertama ibu bagi anak-anaknya adalah mengajarkan dasar-dasar agama yang lurus, menyemai benih keimanan dalam diri anaknya, mengenalkan pencipta alam semesta, para nabi, dan makhluk-makhluk Tuhan. Saat menginjak usia balig, jelas Haya, maka saatnya pula diajarkan halal dan haram.

Melalui pengajaran itu, ujar Haya, saat dewasa anak-anak itu akan mampu meninggalkan yang haram dan hanya mengonsumsi atau hanya mengambil nafkah yang statusnya halal. Ia menyampaikan sebuah pengalaman yang pernah dialami oleh Sahl bin Abdullah at-Tusturi, soal teladan yang baik bagi anak.

Saat Sahl berusia tiga tahun, ia terbangun di tengah malam dan memperhatikan shalat yang dilakukan pamannya, Muhammad bin Sirar. Suatu hari Muhammad bertanya pada Sahl mengapa dia tak mengucapkan nama Allah yang menciptakannya. Sahl bertanya bagaimana cara melakukannya.

Lalu, Muhammad pun mengajarinya. Berucaplah tiga kali di dalam hati tatkala engkau hendak tidur tanpa menggerakkan lidahmu. Allah bersamaku, Allah melihatku, Allah menyertaiku,” demikian Muhammad bin Sirar memberikan pengajaran kepada kemenakannya, Sahl bin Abdullah at-Tutsuri.

Penting bagi ibu untuk memberikan teladan baik bagi anak-anaknya. Cendekiawan Abdullah Nashih Ulwan melalui bukunya, Tarbiyatul Aulad, mengungkapkan, keteladanan dalam pendidikan menjadi cara paling efektif dan berpengaruh dalam mempersiapkan anak. Baik dalam hal akhlak, pembentukan jiwa, maupun kehidupan sosialnya.

Dalam buku Mulai dari Rumah Syekh Muhammad al-Ghazali  menyebutkan, ibu adalah sekolah. Merujuk pada peran ibu itu, ia mengatakan, kebudayaan yang maju memberikan perhatian besar pada pembinaan generasi muda melalui pendidikan yang baik. Ia pun mengatakan, pada masa-masa lalu peranan ibu dalam mendidik anaknya sudah tinggi.

Ia memberikan gambaran besarnya kebanggaan yang merasuk pada diri seorang ibu kepada anak-anaknya. Melalui syairnya, kata al-Ghazali, Umrat al-Khats’amiyyah mengubah kesedihan karena kehilangan dua putranya dalam peperangan dengan rasa bangga karena telah menanamkan keberanian pada diri mereka.

Ibu sebatang kara itu, jelas dia, berkisah pula mengenai kemuliaan yang diwujudkan putra-putranya dalam kehidupan serta tentang nilai-nilai luhur dalam perjuangan, pengorbanan, dan kesucian. Dengan syairnya, ibu tersebut mencoba menghidupkan kemuliaan dan kehormatan pada diri anak-anaknya itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement