REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akhir-akhir ini hubungan, negara dan agama seringkali dipertentangkan. Antara memelihara negara (himayatud daulah) dan menjaga agama (himayatud din) kadang dipandangnya secara dikotomis.
Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis menilai, orang yang dengan slogan menjaga kebhinekaan acapkali abai terhadap nilai-nilai agama. Sedangkan yang memperjuangkan agama kadangkala anti nasionalisme.
"Padahal antar agama dan negara itu bagai dua sisi mata uang. Negara butuh agama untuk membangun nilai-nilai peradaban dalam berbangsa dan bernegara sedangkan agama membutuhkan negara demi penegakan hukum dan keteraturan sosial. Maka untuk tegaknya keadilan dan kedamaian membutuhkan agama sekaligus negara," ujarnya kepada Republika.co.id, Senin (20/2).
Kiai Cholil, menegaskan Alquran dan hadis tidak menyebutkan model negara. Negara tidak harus sepenuhnya jadi negara agama dan juga tak boleh negara hanya berdasarkan rasionalitas semata tanpa agama. Negara butuh nilai agama demi tegaknya nilai keadilan, egaliter dan berdasarkan musyawarah.
Dia menjelaskan, terminologi ummah, syu'ub dan qaum dalam Alquran mengindikasikan bahwa politik itu bisa menggunakan tiga pola. Pertama Politik kebangsaan, kedua Kerakyatan dan ketiga Kekuasaan.
Kebangsaan itu, kata dia, politik keadaban yang berorientasi pada nilai kemanusiaan, persatuan, keadilan, dan perdamaian. Politik bermuara pada kerakyatan, adalah peran politik kemasyarakatan yang mengajak masyarakat amal ma'ruf dan mencegah umat dari berbuat mungkar. Sedangkan politik kekuasan adalah politik praktis. yaitu pelakukan perubahan dan perbaikan melalui kekuasaan yang diraihnya.
Untuk Indonesia, dia menjelaskan, bangsa ini telah menjadi negara Islam (Darul Islam) bukan hanya darussalam (negara damai) karena nilai Islam sudah terserap ke dalam sistem hukum nasional. Islam bebas diamalkan di Indonesia tanpa dihalangi oleh masyarakat dan penguasa.
"Kita tinggal memilih peran dalam politik ini, apakah peran politik kebangsaan, politik kerakyatan atau politik kekuasaan. Semua ini menjadi sumber kekuatan manakala dapat dikoordinasi dengan baik," ujar Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM NU) ini.
"Namun, kalau tak terkoordinasi, maka berbagai peran ini dapat menjadi perpecahan dan kelemahan. Ketiga peran itu telah dilakukan oleh warga Nahdliyin cuma saya melihatnya masih kurang terkoordinasi dengan sempurna," tandasnya.