REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Didorong keinginan untuk memperluas cakrawala intelektualitasnya, Ibnu Khaldun berusaha memperoleh sumber-sumber kepustakaan yang penting. Ia memutuskan kembali ke Tunisia.
Di sana ia kian menekuni bidang ilmu dengan menulis dan mengajar. Pada 1382 ia kembali mengadakan perjalanan. Kali ini ke Tanah Suci Makkah untuk berhaji. Setelah itu, Ibnu Khaldun menjejakkan kaki di Kairo yang kondang sebagai salah satu kota ilmu di dunia Islam.
Penguasa Dinasti Mamluk membuka pintu lebar-lebar bagi Khaldun. Posisi sebagai kadi atau hakim agung disematkan padanya. Caroline Stone melalui tulisannya berjudul Ibn Khaldun, and the Rise and Fall of Empires, menyebut tokoh ini bertekad kuat memperbaiki kondisi negara dari aneka masalah, terutama korupsi dan intrik politik.
Dalam risalahnya, Kitab Al-‘Ibar, Khaldun membahas secara mendalam tentang administrasi pemerintahan. Sejalan dengan pengalamannya, ia telah menyaksikan era kejayaan dan keruntuhan berbagai dinasti. Karena itu, pada beberapa bagian buku, ia menuangkan pemikiran agar pemerintahan bisa bertahan dan efektif.
Khaldun menyebut, stabilitas politik merupakan kunci. Faktor penting agar hal itu terwujud yakni harmonisasi antara pejabat dan tokoh ulama. Ia juga menduga, sejumlah masalah seperti korupsi, moralitas, dan loyalitas bisa berpengaruh buruk terhadap roda pemerintahan.
Kajian sejarah tentang negara Arab bagian timur menjadi kontribusinya yang lain. Ia banyak bersandar pada sejarawan Muslim sebelumnya, di antaranya ath-Thabari dan Ibnu al-Atsir. Khaldun membahas tentang sejarah dan kondisi sosial negara-negara di Afrika Utara.
Karya itu menjadi rujukan penting pada bidang sejarah dunia hingga berabad-abad kemudian. Pada bukunya bertajuk Source of History, sejarawan Barat, Charton, menyebut Ibnu Khaldun sebagai perintis metodologi kajian historis.
(Baca: Buku Sejarah Dunia Ibnu Khaldun)