Oleh: Hasan Basri Tanjung
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejenak seusai azan Shubuh berkumandang, Senin 2 Januari 2017 pukul 4.35 WIB, dunia dakwah dan jurnalistik kehilangan seorang penyambung lidah ulama, wartawan senior Republika, guru dan sahabat sejati. Beliau yang inspiratif, murah senyum dan periang, lapang dan dermawan tiada lain guru saya, almarhum Ustaz H Damanhuri Zuhri.
Bukan hanya keluarga, melainkan banyak orang yang merasa sangat kehilangan. Namun, pesan Ilahi telah menguatkan, "Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput darimu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu..." (QS [57]:23).
Setiap orang pernah mengalami kehilangan. Semakin besar kecintaan maka semakin besar pula rasa kehilangan. Kehilangan pun memberi makna bahwa kita tidak berkuasa atas apa yang dimiliki, seperti harta, anak dan istri/suami, orang tua, bahkan diri kita sendiri. Semua milik Allah SWT dan akan kembali kepada-Nya (QS [2]:155-156). Kehilangan itu ada empat tingkatan. Dua hal akan dialami setiap orang (sunatullah), dan dua berikutnya, jangan sampai kejadian, karena di situlah hakikat kehidupan.
Pertama, kehilangan barang berharga. Kita lahir ke dunia tidak tahu dan tidak punya apa-apa (QS [16]:78). Lalu, dikaruniakan-Nya pancaindra, akal pikiran, hawa nafsu, hati, dan beragam potensi. Dengan perangkat itu, kita meraih kenikmatan. Pekerjaan yang mapan, penghasilan yang melebihi kebutuhan, perhiasan, dan gelimang kemewahan. Namun, semua itu bisa sirna dalam sekejap ataupun perlahan. Jangan sampai melalaikan hati dan lupa kepada-Nya (QS [63]:9), pada saat mendapat jangan terlalu gembira dan saat sirna jangan bersedih hati (QS [57]:22-23). Kehilangan barang berharga bukan akhir segalanya dan masih mungkin mendapat gantinya.
Kedua, kehilangan orang tercinta. Kita memiliki orang-orang istimewa dalam hidup, seperti ayah dan ibu, anak dan istri/suami, saudara, guru, dan kerabat. Saya sudah merasakan kehilangan ayah pada masa kecil, dan mak saat di perantauan. Kadang, kita tidak sadar arti keberadaan mereka, bahkan sering kali mengabaikannya. Tapi, kalau sudah tiada baru terasa, bahwa kehadirannya sungguh berharga. Namun, betapa pun mencintai mereka, tidak boleh melebihi cinta kepada Allah SWT (QS [9]:24). Kehilangan orang tercinta pun bukan akhir dari segalanya, karena masih mungkin diberi pengganti atau dipertemukan kembali di Akhirat. Doa sebagai tanda rindu yang sejati (QS [17]:24, [27]:19).
Ketiga, kehilangan harapan. Kita boleh kehilangan barang berharga dan orang tercinta, tapi tak boleh kehilangan harapan (putus asa). Sekiranya kita mengalami banyak derita, kehilangan orang tercinta, atau terjerumus dalam nista, tapi tak boleh putus asa dari rahmat Allah (QS [11];9, [12]:87, [29]:23). Betapa pun beratnya kehilangan ayah dan ibu, anak dan istri/suami atau kekasih hati, tidak patut kehilangan harapan. Karena, selain rahmat Allah itu luas, juga bukan kita saja yang kehilangan atau menderita, bahkan orang lain lebih berat cobaannya (QS [3]:139-140). Kesedihan dan putus asa hanya akan membuat kita hilang kesempatan untuk meraih pencapaian.
Keempat, kehilangan Tuhan (iman). Kekuatan iman melarang kita putus asa dan buruk sangka (su`udz-dzan) kepada Allah SWT. Yakinilah bahwa dalam setiap sesuatu yang tak disukai selalu ada kebaikan (QS [2]:217). Allah tidak akan menimpakan beban melebihi kemampuan sehingga kita tetap bisa bertahan (QS [2]:286). Allah SWT, pemilik langit dan bumi, akan menjadi pelindung (QS [73]:9). Bersabarlah dalam setiap duka yang melanda karena Allah SWT selalu menyertai (QS [2]:153, 177). Kebaikan dan keburukan itu cobaan atas keimanan (QS [21]:35, [29]:2-3). Jika seorang hilang harapan, tiada kegairahan. Dan, jika kehilangan Tuhan, ia tak tahu lagi arti hidup dan arah tujuan.
Nasihat Dr Aidh Al-Qarni penting disimak. "Jangan bersedih karena kesedihan itu akan membuat rumah yang luas, istri yang cantik, harta yang melimpah, kedudukan yang tinggi, dan anak-anak yang cerdas tiada guna sedikit pun...". Allahu a'lam bish-shawab.