Rabu 18 Jan 2017 14:01 WIB

DPR: Selama 40 Tahun, Fatwa MUI tak Pernah Meresahkan

Rep: Eko Supriyadi/ Red: Bilal Ramadhan
Aboe Bakar Al Habsyi
Foto: ANTARAFOTO
Aboe Bakar Al Habsyi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR, Aboebakar Alhabsyi menyatakan, jika ada kesimpulan yang menyatakan fatwa ulama menjadi penyebab keresahan dan anti kebinekaan, itu adalah logika sesat. Menengok sejarah, fatwa jihad atau resolusi jihad yang disampaikan KH Hasyim Asy’ari mengobarkan perlawanan Arek Suroboyo terhadap penjajah. Bila tidak ada fatwa jihad tersebut, tidak ada hari pahlawan, dan kita tidak tahu apakah republik ini masih ada.

''Jika yang dimaksud fatwa meresahkan adalah fatwa dari MUI, coba dilihat juga bahwa fatwa MUI sudah berjalan selama 40 tahun,'' kata Aboebakar, dalam siaran persnya, Rabu (18/1).

Ia mengatakan, selama ini sudah ada lima presiden yang berganti, namun tidak ada yang mengeluhkan fatwa MUI. Malah, lanjutnya, Fatwa MUI banyak dijadikan rujukan pembangunan nasional, misalkan saja di bidang perbankan, zakat hingga wakaf.

''Jika yang dikeluhkan adalah pergerakan massa setelah ada fatwa penistaan, mari tengok sejarah,'' ucapnya.

Menurut politikus PKS tersebut, hal itu juga dilakukan HOS Tjokroaminoto yang mengajak rakyat Indonesia untuk menghadiri rapat besar di Kebun Raya Surabaya, pada 6 Februari 1918, lantaran penistaan yang dilakukan Djojodikoro terhadap Nabi Muhammad SAW dalam harian Djawi Hisworo.

Karena itu, pergerakan oleh rakyat seperti ini bukan pertama kalinya. Perlu dipahami, fatwa ulama adalah penerjemahan aturan hukum agama dalam konteks lokalitas dan kekinian. Hal itu memang sangat dibutuhkan agar ummat dapat memahami aturan hukum agama dengan baik dan benar sesuai dengan perkembangannya.

''Tentunya sudah menjadi kewajiban bagi ulama untuk menjaga umatnya agar selalu dalam rel ajaran agama yang benar,'' ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement