Ahad 15 Jan 2017 23:30 WIB

Muteferrika dan Percetakan di Turki

Rep: Dyah Ratna Meta Novia/ Red: Agung Sasongko
Kunjungan Sultan Ustmaniyah, Reshad di Balkan.
Foto: worldbulletin.com
Kunjungan Sultan Ustmaniyah, Reshad di Balkan.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Saat masa kekuasaan Turki Utsmani, upaya untuk mewujudkan percetakan juga muncul. Ada sebuah nama yang berkontribusi dalam terwujudnya kegiatan tersebut, yaitu Ibrahim Muteferrika. Lelaki kelahiran 1647 Masehi ini merupakan seorang prajurit, ilmuwan, diplomat, dan penulis.

Kala masih belia, ia menyaksikan kegagalan yang pernah dialami oleh tentara Turki di suatu masa saat melakukan pengepungan di Vienna. Kemudian, ia menyadari bahwa itu menjadi pertanda penurunan kekuatan militer Turki. Banyak hal yang menyebabkan penurunan ini.

Namun, Muteferrika menyimpulkan, perlu inovasi untuk meningkatkan kekuatan tentara Turki. Termasuk, harus mengadopsi inovasi yang dilakukan oleh tentara Eropa. Hal itu harus dilakukan. Jika tidak, tentara Turki tak akan mampu meningkatkan kemampuannya.

Akibatnya, tentara Turki tak akan memiliki daya untuk mempertahankan kekuasaan Turki. Berpijak pada kenyataan itulah, ia memikirkan bagaimana membangun sebuah percetakan. Tujuannya, menyebarkan ide-ide ilmiah tentang kekuatan militer.

Dalam pandangan Muteferrika, penyebaran ide itu harus dilakukan secara cepat dan masif. Ia lalu mendorong penerjemahan teks-teks dari Eropa yang kemudian dicetak secara massal. Sayangnya, konservatisme pemerintah Turki saat itu menghadang ide Muteferrika.

Namun, Muteferrika tak patah arang. Ia mencari dukungan dari karibnya, yaitu Chelebi Mehmed Pasha Yirmisekiz, dan anaknya Sa'id yang pada 1721 baru kembali dari misi diplomatik ke Paris. Keduanya memiliki pandangan maju dan dibalut keinginan untuk melakukan perubahan.

Mereka juga mengagumi kemajuan yang terjadi di Paris, termasuk percetakan. Dengan bantuan mereka, akhirnya Wazir Agung Ibrahim Pasha mendorong Muteferrika membuat sebuah petisi kepada Sultan Ahmed III yang menjelaskan pentingnya percetakan.

Muteferrika pun memenuhinya. Ia membuat penjelasan perinci yang berjudul Wasilat al-Tiba'a atau The Utility of Printing. Dalam pembukaannya, ia mengingatkan pentingnya melestarikan hukum negara dan kesulitan untuk melakukannya.

Menurut Muteferrika, orang-orang kuno menuliskan dan mengabadikan hukum mereka pada tablet atau menuliskannya pada lembaran kulit. Namun, tablet atau perangkat lainnya yang digunakan untuk menuliskan hukum itu tak bisa selalu terlindungi.

Kekuasaan negara juga tak selalu bisa melindunginya, terutama dalam suasana perang. Muteferrika kemudian mencontohkan peristiwa penghancuran buku yang dilakukan oleh Genghis Khan dan Hulagu Khan, para penakluk Mongol pada abad ke-12.

Mereka menghancurkan kekuasaan Dinasti Abbasiyah, membakar atau merusak semua karya seni dan ilmu yang terdokumentasikan dalam bentuk buku. Saat Sultan Ahmed III menerima petisi itu, ia mengonsultasikan hal itu kepada seorang mufti yang bernama Shaikh Abd Allah.

Sang mufti yang ahli dalam hukum Islam itu memandang tak ada masalah usulan pembangunan percetakan itu. Akhirnya, setelah mendapat jawaban dari sang mufti, Sultan Ahmed III mengizinkan pendirian percetakan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement