Oleh: Abdul Muid Badrun
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pagi itu cuaca cerah berselimut dingin. Kereta api yang membawa saya dari Jakarta ke Madiun, tiba pukul 03.15 WIB. Butuh 45 menit lagi perjalanan sampai ke Ponorogo. Sebelum sampai tujuan, saya mampir di warung tenda. Dari jauh terlihat dua orang tukang sapu sedang membersihkan jalanan.
Kerja mereka tak pernah kelihatan, tapi dampaknya sungguh terlihat. Jalanan bersih dan rapi. Mereka tak butuh pujian, mereka tak butuh pengakuan. Mereka bekerja dengan istiqamah. Namun, hasil kerjanya patut dipuji dan dihargai. Nabi pun menyukai kebersihan sesuai hadisnya, "Sesungguhnya Allah itu suci dan menyukai hal-hal yang suci. Dia Maha Bersih dan menyukai kebersihan..." (HR Tirmidzi).
Jika Anda melewati jalan utama Ponorogo di pagi hari, akan terlihat buktinya. Bersih dan rapi. Tukang sapu, sangat berjasa bagi kebersihan kota. Hal ini sesuai dengan ungkapan Arab yang masyhur, "Kebersihan sebagian dari iman." Namun, tak banyak dari kita yang mengamalkannya. Ayo, kita cek di rumah kita, lingkungan sekitar kita, bahkan masjid dan mushala kita. Sudah bersihkah? Maka pantas jika ilmuwan pembaharu Mesir, Mohammad Abduh, berkata, "Saya tidak menemukan Islam di Timur bahkan saya malah menemukannya di Barat." Ironis bukan!
Jasa tukang sapu ini tidak hanya di Ponorogo, tapi di kota-kota besar lainnya. Bahkan, di lingkungan kampus pun terlihat hasilnya. Tukang sapu bukan hanya karena itu tugasnya. Namun, komitmennya untuk membersihkan lingkungan itulah yang sungguh mulia. Profesi tukang sapu, tak menarik minat. Kalah dengan profesi-profesi lainnya, tapi mulia hasilnya. Kita patut mengapresiasinya.
Tiap tengah malam sampai pagi hari, mereka bekerja. Kita sebagai pengguna jalan tak pernah tahu. Karena yang kita lihat hanya hasilnya, berupa bersihnya kota. Tanpa pernah tahu prosesnya. Alquran pun menjelaskan masalah kebersihan ini dalam surah al-Baqarah ayat 222 dan al-Muddassir ayat 4-5.
Diakui atau tidak, di balik kebersihan kota, ada tukang sapu yang berjasa. Sudah sepantasnya, kesejahteraan mereka diperhatikan. Masa depan keluarga mereka dijamin. Bayangkan, jika para tukang sapu itu berhenti bekerja (mogok). Apa jadinya lingkungan kota kita. Sudah pasti akan kotor, banyak debu dan bau. Mengganggu pemandangan kota dan tidak sehat. Ini yang tidak pernah kita sadari bersama.
Selama ini, kita hanya berfokus pada hasil. Tak pernah melihat proses. Nasi tersedia di meja makan. Padahal, prosesnya dari tanam padi, lalu menjadi beras dan kemudian dimasak menjadi nasi. Sayuran yang kita makan tiap hari prosesnya juga demikian. Mulai tanam, tumbuh, petik hingga sampai pasar. Dari pasar sampai ke tangan kita.
Semuanya butuh proses. Tak ada yang instan. Semua hasil melalui proses. Jika hidup hanya berorientasi kepada hasil, maka kita akan kehilangan kepekaan kepada proses. Akibatnya, negeri ini akan dipenuhi generasi "parvenu". Yaitu generasi tidak siap pakai, yang bisanya hanya mengandalkan orang tua atau orang lain untuk mencapai tujuan.
Konsistensi tukang sapu dalam membersihkan lingkungan kota, memberi pelajaran berharga pada kita. Betapa hasil itu akan bisa dirasakan ketika dijalani dengan proses yang baik, benar, dan terus-menerus. Dalam bahasa agama namanya istiqamah (QS Fushilat: 30). Sehingga, tak perlu fokus kepada hasil, asal prosesnya tekun, baik, dan benar maka hasilnya akan bisa dirasakan. Mulailah melakukan segala sesuatu dengan memaksimalkan proses. Sehingga, hasilnya akan mendekati harapan.