REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di zaman modern ini, sudah jamak seorang wanita bekerja di luar rumah dengan beragam profesi. Ada yang jadi guru, dokter, wartawan, pengusaha, politikus, bahkan menteri.
Dengan penghasilannya yang bisa jadi lebih besar ketimbang pendapatan sang suami, tak jarang seorang wanita yang telah berstatus sebagai istri ikut membantu perekonomian keluarga. Dengan kata lain, ia ikut menafkahi keluarga. Bagaimana jika terjadi hal seperti ini?
Tentang hal ini, ulama besar Dr Syekh Yusuf al-Qaradhawi mengatakan, kewajiban memberi nafkah keluarga sejatinya ada pundak suami. Ini sesuai dengan firman Allah dalam QS an-Nisa ayat 34: "Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) dari sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka."
Menurut Syekh al-Qaradhawi, kalaupun ada wanita yang menginfakkan hartanya untuk keluarga, hal itu hanya merupakan sikap tolong-menolong dan akhlaknya (etika) sebagai seorang istri. Jadi, bukan karena keharusan atau kewajiban yang harus ia penuhi.
Walaupun termasuk orang kaya atau mempunyai pekerjaan yang menghasilkan harta banyak, ia tetap tidak wajib menafkahi keluarganya. Para imam mazhab pun tidak ada yang mewajibkan istri yang kaya untuk menafkahi suaminya yang miskin. "Kecuali imam golongan adz-Dzahiri, yaitu Imam Ibnu Hazm," kata Syekh al-Qaradhawi dalam buku Fatwa-Fatwa Kontemporer.
Meski demikian, lanjut ulama kelahiran Mesir ini, sebaiknya wanita yang bekerja di luar rumah ikut membantu menafkahi keluarganya. Apalagi, jika tugas atau pekerjaannya di luar rumah mengharuskan ada pembantu rumah tangga atau guru untuk anak-anaknya. Atau, menuntut ada tambahan nafkah untuk keperluan pekerjaannya, seperti baju-baju atau untuk transportasi.
Paling tidak, wanita ikut membantu menafkahi sepertiga dari kebutuhan rumah tangga. Sisanya ditanggung suami. "Jadi, sebagaimana suami menanggung sebagian kewajiban istri, maka istri juga ikut menanggung kewajiban suaminya, memberi nafkah."
Rekening sendiri
Karena bekerja dan memiliki penghasilan, mereka pun biasanya memiliki rekening sendiri. Syekh al-Qaradhawi tak mempermasalahkan hal ini, bahkan ia mendukung. "Saya sendiri mendukung istri mempunyai rekening sendiri agar suami tidak tamak dengan harta istrinya," ujar ulama yang sekarang menetap di Doha, Qatar ini. Dalam hal ini suami tidak boleh marah, kecuali jika istri punya niat yang tidak baik.
Ia pun menyarankan, tabungan suami dan istri jangan sampai dicampur dalam satu rekening. "Biarkanlah masing-masing menggunakan namanya sendiri. Karena, setiap manusia berhak atas hartanya." Terkait hal ini, Syekh al-Qaradhawi punya cerita.
Pernah ada kejadian, suami mempunyai istri yang bekerja dan menghasilkan harta yang tidak sedikit, kemudian ditabungkan pada rekening milik suami. Namun setelah berjalannya waktu, sikap suami berubah pada istrinya. Ia pun menikah lagi dengan wanita lain dengan mempergunakan harta istri pertama.
Islam, lanjut Syekh al-Qaradhawi, telah memerdekakan wanita dari kungkungan-kungkungan (kezaliman) pada zaman jahiliah dengan berbagai bentuknya, terutama dalam hal kepemilikan harta yang tidak bergerak seperti tanah, kebun dan lain-lain, dan harta yang bergerak seperti mobil, emas, berlian, dan lain-lain.
Dalam hal ini, Islam menjadikan kepemilikan wanita tersendiri, terlepas dari kepemilikan orang tua dan suaminya. Artinya, sudah menjadi haknya untuk mempergunakan sekehendaknya, seperti untuk membeli, menjual, memberi, atau menginfakkannya. "Semua itu terserah dia, sebagaimana laki-laki bebas mempergunakan hartanya. Tidak ada yang berhak melarang dan memaksanya," ujar Syekh al-Qaradhawi.
"… Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi wanita pun ada bagian yang mereka usahakan …" (QS an-Nisa: 32). Karena itu, menjadi hak wanita untuk membuka rekening tabungan di bank atas namanya sendiri, baik untuk menabung harta dari hasil usahanya sendiri, dari harta warisan, maupun hadiah dari ayahnya, hadiah dari ibunya, atau dari yang lainnya.